19 Agustus, 2009

Dibalik Rencana Pemekaran Luwu Raya

Bukan Euforia Reformasi, Sudah Menjadi Ideologi

"Ini bukan euforia reformasi. Kalau seumpamanya kita semua mati hari ini, maka anak cucu yang lahir di Tana Luwu pasti akan tetap melanjutkan perjuangan provinsi ini,"

EKA NUGRAHA
Palopo
(Fajar Edisi Juni 2009)


Kalimat itu terlontar dari mantan komite perjuangan Provinsi Luwu Raya tahun 2002, Baharman Supri, kamis 16 juli lalu. Dia menilai, perjuangan pemekaran Luwu Raya bukan lagi karena kepentingan kekuasaan. Perjuangan ini bahkan sudah menjadi ideologi rakyat Luwu. Sehingga, mau tidak mau, provinsi Luwu Raya sudah menjadi harga mati ribuan rakyat Luwu.

Menurut Baharman, banyak faktor yang membuat rakyat Luwu harus memperjuangkan pemekaran itu. Salah satunya adalah faktor etnis. Selama ini, kata Baharman, etnis Luwu tidak pernah dikenali di Sulsel, yang ada hanya etnis Bugis, Mandar, Makassar atau sebagainya. Padahal, Luwu juga merupakan salah satu etnis di Sulawesi Selatan.

"Ini juga sudah menjadi perjuangan etnis, kita harus memperjelas etnis kita, caranya dengan memperjuangkan provinsi Luwu Raya ini," kata Baharman.

Baharman mengatakan, perjuangan pemekaran Luwu Raya sebenarnya telah dilakukan sejak zaman kerajaan. Pada fase ini, perjuangan rakyat Luwu terhambat pada kepentingan Gubernur Sulsel.

"Saat itu hampir semua anggota kepanitiaan pemekaran Luwu raya yang terdiri atas PNS dan anggota Dewan di pindah tugaskan. Bahkan beberapa diantaranya di pecat," kata baharman.

Fase selanjutnya adalah fase dimana Tana toraja hendak bergabung dalam pemekaran provinsi Luwu raya. Pemekaran provinsi Luwu saat itu terhambat karena beberapa tokoh masyarakat utamanya tokoh islam tidak menerima Tana toraja sebagai bagian dari provinsi Luwu raya.

Terakhir, adalah fase pemerintahan sekarang. pada fase ini, selain karena kendala administrasi yang berubah-ubah, beberapa kelompok elit politik seTana Luwu belum sepenuhnya mengambil sikap. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya rekomendasi yang dikeluarkan dari kabupaten Luwu Timur.

"Saya yakin, semua rekomendasi itu akan terbit, provinsi Luwu raya tinggal menunggu waktu," kata Baharman.

Momentum Politik

Baharman mengatakan, kebanyakan, revolusi suatu bangsa sebenarnya terwujud dengan menggunakan momen politik. Oleh karena itu, momen politik pemilihan gubernur 2012, bisa dijadikan momen pemekaran provinsi Luwu raya.

"Makanya, pemekaran Luwu tengah saat ini menjadi fokus untuk memenuhi persyaratan administratif," jelasnya.

Dengan terbentuknya Luwu Tengah, berarti secara administratif Provinsi Luwu raya sudah terpenuhi. Sekarang, rakyat Luwu tinggal memilih siapa Gubernur yang terpilih nanti yang mau membantu perjuangan Luwu raya. Menurutnya, kalau memang momen ini bisa berhasil, berarti perjuangan Rakyat Luwu untuk mewujudkan provinsi Luwu raya genap setengah abad.

Selain itu, kata Baharman, seperti perjuangan revolusi di bangsa lainnya, pemekaran Luwu raya juga membutuhkan tokoh aktor revolusi. Tokoh inilah yang menjadi ujung tombak perjuangan provinsi Luwu raya.

Lalu siapa yang layak menjadi tokoh itu? "Saya kira yang layak sekarang adalah Bupati Luwu utara, Luthfi, bisa dibilang dia memiliki hampir semuanya, mulai pengikut, jaringan dan karakter ketokohan," jelasnya.(**)

17 Agustus, 2009

Melirik Sejarah Monumen 23 Januari

Awal Perjuangan Rakyat Luwu

Sebuah monumen berdiri kokoh di depan istana kerajaan Luwu. Monumen itu bernama Monumen 23 Januari-1946.





EKA NUGRAHA
Palopo (Fajar, Edisi 21 Juli 2009)


Istana kerajaan Luwu memang menyimpan banyak sejarah perjuangan rakyat Luwu melawan penjajah. Arsitektur Belanda pun melekat pada pada istana tertua di Sulsel ini.
Pasalnya, istana itu memang didirikan saat Belanda menjajah Indonesia. Sebuah miniatur istana yang dulu (disebut Langkanae) juga didirikan di samping Istana Luwu tersebut.

Pada zaman Belanda, kota Palopo adalah pusat
pemerintahan Kedatuan Luwu, oleh karena itu istana
kerajaan tertua di Sulsel ini berada di jantung kota ini.
Sebuah papan nama bertuliskan "Istana datu Luwu, Datu
Luwu palace, anno: 1920" terpajang jelas di bagian depan
kompleks istana ini. Papan nama tersebut menandakan
istana itu pernah di bangun oleh Belanda sekira tahun
1920 (kata Anno: 1920, mendandakan bangunan buatan
Belanda tahun 1920)

Di dalam kompleks istana, terdapat monumen Perjuangan
Rakyat Luwu, berupa badik yang terhunus ke langit
dengan tulisan “Toddopuli Temmalara”. Selain itu, ada
juga tulisan "23 Januari-1946". Pasalnya, 23 Januari 1946,
adalah tanggal perjuangan rakyat kawasan timur di
Indonesia, yang di mulai dari istana kerajaan Luwu.

"23 Januari itu adalah simbol perjuangan bagian timur
Indonesia, titik perjuangannya ada di kerajaan Luwu, dan
dipimpin oleh datu Andi Djemma," kata seorang Pakkateni
Ade' (setingkat mentri di kerajaan Luwu), Opu Andi
Nyiwi, Senin 20 Juli kemarin.

Menurut Andi Nyiwi, perjuangan rakyat Luwu melawan
penjajah saat itu berpusat di istana kerajaan. Namun,
pecahnya perang terjadi di kecamatan Bua, kabupaten
Luwu. Perang tersebut dipimpin oleh pemimpin revolusi
rakyat Luwu, Andi Djemma, yang sekaligus saat itu adalah
raja Luwu

Lebih jauh, kata "Toddopuli Temmalara" bermakna "apa
yang diucapkan, harus dilakukan,". Saat itu, kata tersebut
memberikan makna kalau perjuangan rakyat Luwu harus
sesuai dengan kata hati. Kalimat ini juga sering di
analogikan dengan semboyan perjuangan Indonesia;
"merdeka atau mati". Inilah yang menjadi semboyan
perjuangan rakyat Luwu sampai sekarang ini.

"kata ini harus tertanam di jiwa generasi muda rakyat
Luwu, ini adalah semboyan tetua kita dahulu," kata Andi
Nyiwi.

Hal serupa juga dibenarkan oleh ketua Legiun Veteran
Palopo, Andi Baso Rahman, Senin 20 Juli kemarin.
Menurutnya, awal perjuangan rakyat Luwu adalah tanggal
23 Januari itu. Sedangkan puncak perjuangan itu adalah
perjuangan yang bernama Masamba Affair di Luwu Utara.
Sayangnya, dia tidak tahu pasti kapan monumen itu
terbangun.

Lebih jauh, Baso Rahman mengatakan, setiap 23 Januari,
tiga kabupaten dan satu kota se tana Luwu akan
memeringati perjuangan itu. Perayaannya dilakukan secara
bergiliran di tiga kabupaten dan satu kota tersebut.

"kalau tidak salah, tahun depan kita akan rayakan di
Kabupaten Luwu," kata Andi Baso Rahman.

Pernah juga ada mitos yang menyebutkan, kalau badik
yang terhunus ke langit pada monumen ini harus ditutup
dengan 'Pajung' (Payung). Pasalnya, hal itu dilakukan
supaya tidak menyebabkan adanya pertikaian lagi di Tana
Luwu.

Andi Nyiwi yang dikonfirmasi terkait hal itu membantah
mitos tersebut. Menurutnya, itu adalah monumen biasa
untuk memeringati perjuangan rakyat Luwu.

Namun, dia juga membenarkan, kalau badik yang terhunus
tersebut pernah diselimuti dengan kain. Tujuannya hanya
untuk memeringati perjuangan rakyat Luwu, sekaligus
sebagai simbol menyatunya rakyat Luwu.

"Memang ada cerita seperti itu, tapi itu tidak benar, saat
itu kita selimuti hanya sebagai simbol perdamaian,"
jelasnya.(**)