31 Oktober, 2009

Menembus Kampung Mabusa, Wilayah Terpencil di Lutra (2-Selesai)

Punya Banyak Potensi, Warga Masih Gunakan Sistem Barter

Tiga kecamatan terpencil di Luwu Utara; Limbong, Seko dan Rampi adalah
kecamatan yang memiliki potensi Hotikutura yang luar biasa. Sayang,
potensi itu terhalang oleh akses jalan yang jelek.



EKA NUGRAHA
Limbong

Ada banyak hal yang menarik pemerintah kabupaten Luwu Utara untuk
terus membuka akses jalan menuju tiga kecamatan terpencil itu. Selain
untuk mengatasi keterisolirnya penduduk di tiga kecamatan tersebut,
ternyata ketiga kecamatan itu memiliki potensi alam yang sangat luar
biasa.

Kecamatan Limbong adalah salah satu kecamatan yang ditetapkan sebagai
sentra hotikultura di Luwu Utara. Beragam jenis sayuran tumbuh di Tana
Masakke -- tanah yang dingin-- tersebut. Mulai dari tanaman kol,
wortel sampai buah apel juga tumbuh di tanah tersebut.

Selain itu, kecamatan yang memiliki jumlah penduduk sekira 400 kepala
keluarga tersebut juga memiliki potensi peternakan dan perikanan.
Salah satu peternakan andalan adalah sapi dan kuda. Sedangkan untuk
sektor perikanan, warga Limbong banyak memelihara ikan karper.

"Semua produksi hotikultura disini tidak dipupuk. Tanaman itu tumbuh
dengan sendirinya. yang kami lakukan hanya mendatangkan bibitnya,"
kata Camat Limbong Alam K A Parenrengi.

Lain halnya dengan di Seko, informasi yang dihimpun Fajar, di
kecamatan Seko terdapat peternakan rusa. komoditi andalan kecamatan
ini adalah dendeng rusa.

"Di Seko juga banyak potensinya, kebanyakan potensi peternakan," jelas Alam.

Sayang, karena akses jalan yang tidak memadai, semua potensi itu
kemudian tidak dapat dinikmati oleh banyak orang. Bahkan, kata Alam,
hampir setiap bulan, ada saja sayuran yang terbuang sia-sia karena
busuk.

Alam mengatakan, beberapa tahun silam, warga kecamatan Limbong masih
menggunakan sistem barter untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Hal
itu dilakukan karena saat itu, Limbong belum memiliki pasar.

"Sekarang sudah ada pasar rakyat, itu pun warga masih ada yang
melakukan sistem barter untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya,"
jelas Alam.

Lalu bagaimana untuk mengatasi kebutuhan sekunder lainnya? Alam
mengatakan, warga terpaksa menggunakan kendaraan roda dua yang
dimodifikasi sedemikian rupa untuk mengangkut kebutuhan tersebut.
Selain kendaraan roda dua, warga juga terkadang menggunakan tenaga
kuda untuk mengangkut barang.

Semantara itu, Bupati Luwu Utara, Luthfi A Mutty disela-sela
kunjungannya mengatakan poros jalan Sabbang-seko ditargetkan selesai
2012 mendatang. Jalanan ini nantinya juga akan menghubungkan kabupaten
Luwu Utara dengan provinsi Sulawesi Barat. Sehingga, produksi
Hotikultura di kecamatan Limbong tidak terbuang sia-sia.

"Saya sudah berbincang sama sejumlah warga, ternyata hasil produksi
itu di jual ke Seko. Mudah-mudahan jika akses jalan sudah baik, hasil
hotikultura itu bisa dijual ke Masamba," jelas Luthfi.(**)

28 Oktober, 2009

Menembus Kampung Mabusa, Wilayah Terpencil di Lutra (1)

Jalan Antarprovinsi Terjelek di Sulawesi Selatan

Kampung Mabusa, kampung terjauh di kecamatan dikecamatan Limbong, Kabupaten Luwu Utara. Tidak mudah untuk menembus salah satu kampung terpencil ini di Luwu Utara ini.



E
KA NUGRAHA
Limbong

FAJAR
Edisi Selasa, 27 Oktober


Meski waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, rasa dingin masih menusuk di kulit penulis saat berkunjung di kecamatan Limbong, kabupaten Luwu Utara, Sabtu 24 Oktober lalu. Maklum, wilayah ini berada diketinggian sekira 1.444 meter diatas permukaan laut (Mdpl). Jangan heran, jika kecamatan ini juga dikenal dengan istilah Tana Masakke ---Dalam bahasa Luwu artinya, wilayah yang dingin.

Kecamatan Limbong terletak sekira 66 kilometer arah Barat Laut kota Masamba, Kabupaten Luwu Utara. Jaraknya yang relatif jauh dan kondisi medannya yang sulit menyebabkan kecamatan ini menjadi salah satu dari tiga kecamatan yang terisolir di Lutra (Setelah Limbong masih ada kecamatan Seko dan Rampi).

Sejak 2001 lalu, pemerintah provinsi Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Pemkab Lutra mulai membuka akses jalan Sabbang-Rampi untuk mengatasi keterisolirnya tiga kecamatan terpencil ini. Sayang, sampai sekarang akses jalan itu baru sampai pada kampung Mabusa, wilayah terjauh dikecamatan Limbong.

Bersama dengan rombongan Bupati Lutra, M Luthfi A Mutty, penulis ikut menyusuri jalan menuju kampung Mabusa itu. Tidak banyak kendaraan yang bisa melalui jalan ini. Untuk kendaraan roda empat, sebaiknya kendaraan itu memiliki kapasitas four whell drive (4WD). Jika tidak, jangan berharap banyak untuk dapat menembus kampung yang berbatasan dengan kecamatan Seko tersebut.

"Kalau cuma mobil biasa, sebaiknya tidak usah kesana, pasti tidak akan sampai ditujuan," kata Camat Limbong, Alam K A Parenrengi.

Memang benar kata Alam, akses jalan sepanjang sekira 22 kilometer menuju kampung itu sangat sulit. Medan yang terjal dan berlumpur tentunya dapat membuat kendaraan bermotor kewalahan.

Dalam perjalanan ke Mabusa, beberapa kali penulis mendengar suara gardan yang kandas dengan tanah atau suara benturan bumper belakang mobil tumpangan penulis (penulis saat itu menumpang mobil jenis duoble Cabin). Selain itu, bau menyengat yang diperkirakan akibat gesekan kampas kopling mobil juga tercium saat mobil sudah benar-benar kandas didalam lumpur.

Bahkan Bupati Luwu Utara, Luhti A Mutty mengklaim jika poros kecamatan Sabbang ke kampung Mabusa adalah jalan terburuk di Sulawesi Selatan.

"Inilah jalan yang terburuk di Sulawesi Selatan," kata Luthfi disela-sela kunjungannya ke kampung Mabusa.(**)

26 Oktober, 2009

Dari Kedatangan MS Bremen ke Pelabuhan Tanjung Ringgit

Kota Palopo, Gerbang Baru Wisata Internasional

Kota Palopo, selain merupakan kota yang terkenal dengan kebudayaannya, wilayah ini ternyata juga merupakan gerbang menuju wisata taraf internasional, Tana Toraja.

EKA NUGRAHA

Palopo

Jarum jam baru menunjukkan pukul 07:15 Wita. Pelabuhan Tanjung Ringgit kota Palopo tampak dipadati puluhan warga kota Palopo, Jumat 16 oktober kamarin. Matanya mengarah kepada sebuah kapal berwarna putih yang menuju kepelabuhan itu. Selang beberapa menit kemudian kapal itu akhirnya sandar juga.

Itulah kapal pesiar bernama MS Bremen. Kapal dengan bobot 6.752 kilogram dengan pangjang 101 meter tersebut mengangkut 150 wisatawan asing asal jerman yang akan melakukan kunjungan budaya di kota Palopo dan Toraja. Ke 150 Wisman itu terdiri atas wisatwan asal Austria, Belgia, Norwegia, jerman dan Swietzland.

Sebuah tarian khas kota Palopo bernama Tari Paduppa yang dibawakan oleh sejumlah gadis kota Palopo menyambut kedatangan wisatawan asing tersebut. Tarian ini melambangkan ucapan selamat datang di pusat pemerintahan kerajaan Luwu tersebut.

Wisatawan asing yang dipimpin oleh kapten kapal MS Bremen, Michael tersebut diterima langsung oleh Walikota Palopo, HPA Tenriadjeng. Usai acara penerimaan tersebut, puluhan Wisman mulai melangkah ke mobil Bus yang telah disediakan oleh Pemkot Palopo dan Pemkab Toraja. Mereka pun mulai melakukan kunjungan disejumlah lokasi budaya di Palopo. Lokasi budaya yang dimaksud adalah Istana kerajaan Luwu, lokasi pemakaman raja luwu, dan masjid jami tua kota Palopo.

Selain itu, wisman ini juga disuguhi bermacam kebudayaan di kota Palopo. Salahsatunya adalah ikon kampung budaya di Palopo. Kampung tersebut terletak di desa Peta, kecamatan Sendana.

"Ini adalah program kampung budaya kita yang baru," kata walikota Palopo, HPA Tenriadjeng saat ditemui disela-sela penerimaan Wisatawan itu.

Tenriadjeng mengatakan, kota Palopo adalah salah satu gerbang wisata internasional. Menurutnya, bagi wisatawan yang akan menuju ke Tana Toraja melalui jalur laut, tentunya akan lebih efektif dan efesien jika transit di kota Palopo. Selain jarak yang dekat, para wisatawan juga akan disuguhi kebudayaan Palopo yang tidak kalah menariknya.

Dia menambahkan, kemungkinan tahun depan sebuah kapal pesiar asing akan kembali berkunjung di Palopo. Kapal ini dikabarkan aan lebih besar dari MS Bremen.

"Tahun depan, dia akan berkunjung ke Palopo, bentuknya lebih besar, tapi saya belum tahu pasti namanya," jelas Tenriadjeng.

Sementara itu, wakil ketua sementara DPRD Palopo, Irwan Hamid mengatakan, potensi wisata di kota Palopo memang sangat luar biasa. Menurutnya, kedepan, Palopo tidak hanya menjadi wilayah transit saja melainkan juga wilayah tujuan wisatawan asing.

"Kalau bisa bukan hanya wilayah transit saja, melainkan tempat tujuan wisatawan asing," jelas Irwan.(**)

12 Oktober, 2009

Kisah Hidup Imam Masjid Jami Tua Kota Palopo

Setengah Abad Lebih Mengabdi untuk Islam
"Tuhan selalu memberikan berkah kepada ummat-Nya yang cinta kepada-Nya,"

EKA NUGRAHA
Palopo

Sepenggal kalimat itu mengalir dari mulut Abdul Latief Al Muscati, seorang imam masjid Jami tua di Palopo, Selasa 14 September. Meski agak terbata-bata, pria paruh baya ini masih tampak semangat menceritakan perjuangan hidupnya menjadi seorang imam masjid tertua di Palopo.

Hampir semua jemaah masjid Jami (masjid tertua) di Palopo mengenal sosok keturunan Arab ini. Pasalnya, sejak tahun 1978, pria ini sudah mulai ada di masjid itu. Awalnya, dia hanya bertugas untuk membersihkan masjid paling bersejarah di Sulawesi Selatan itu.

"Awalnya, saya hanya membantu membersihkan Masjid, terus jadi guru mengaji, sampai sekarang jadi imam Masjid," jelas Abdul Latief.

Seperti dengan nama belakangnya; Al Muscati. Abdul Latief adalah salah seorang keturunan Arab yang bermukim di Palopo. Bahkan menurutnya, dia mengaku adalah keturunan cucu dari salah seorang penyebar Syiar Islam terkenal di Palopo bernama Syekh Salim Djewed.

Latief mengatakan, Syekh Salim Djewed adalah sosok penyebar islam di Palopo. Dia pernah menjadi salah satu penasehat agama pada kerajaan Luwu yang saat itu dipimpin oleh Datuk Andi Djemma.

"Tidak ada yang tidak kenal dengan nenek saya itu, apalagi orang-orang kerajaan, pasti dia mengenalnya," jelas Latief.

Latief mengaku, banyak belajar dari neneknya mengenai agama Islam. Bahkan dia pernah belajar di Pendidikan Guru Agama (PGA) selama tiga tahun. Sayang, pendidikan tersebut harus terhenti karena saat itu terjadi perang oleh laskar yang dipimpin oleh Qahhar Mudzakkar. Latief pun harus meninggalkan kota Palopo selama tiga tahun.

Usai dari sana, Latief kemudian mulai tinggal di Masjid Jami tua. Saat itu, dia dipercaya untuk membersihkan masjid dan menjadi guru mengaji. Dia mengaku mulai tinggal di masjid itu sejak tahun 1978.

Lalu, berapa upah Latief saat itu? pria paruh baya dengan janggot yang mulai memutih ini mengaku hanya diberi upah Rp 2500 per bulan. Kehidupannya hanya ditopang dengan jualannya yang tidak jauh dari Masjid itu.

"Setelah beberapa tahun, saya diangkat menjadi imam masjid," jelasnya.

Pofesi sebagai imam masjid masih dilakoni Latief sampai sekarang. Selain itu, dia juga masih mengajar mengaji dan meladeni mayat. Kadang juga dia dipanggil oleh beberapa warga sebagai juru baca doa di sebuah acara.

"Selama hidup di Masjid Jami, ada saja berkah yang diberikan Tuhan," jelasnya.

Latief menambahkan, di hari raya idulfitri ini, dia meminta kepada semua orang agar senantisa menjalin silaturahmi dengan sesama umat muslim lainnya. Selai itu rasa cintanya kepada Tuhan juga harus ditingkatkan. Menurutnya, Tuhan akan selalu memberikan berkah kepada ummatnya yang senantiasa cinta kepada-Nya.

"Saya rasakan ketenraman saat berada di masjid ini, itu adalah salah satu berkah buat saya," jelas Latief.(**)

06 Oktober, 2009

Geliat Aktivis Pemekaran Luwu Raya

Pascapelantikan, Ramai-ramai Duduki Gubernuran

Bosan menunggu janji Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo yang tak kunjung mengeluarkan rekomendasi pemekaran Luwu Tengah. Sejumlah aktivis Luwu Raya mulai menyusun strategi baru.

EKA NUGRAHA
Palopo
(Fajar Edisi 10 September 2009)

Perjuangan untuk membentuk pemekaran Luwu Tengah rupanya tidak pernah mati. Sejumlah aktivis perjuangan Luwu Tengah yang tergabung dalam Forum Pemuda Luwu Raya untuk Pembentukan Kabupaten Luwu Tengah (FPLR-PKLT) mulai melakukan langkah nonformal untuk menuju pemekaran kabupaten baru tersebut.

Rencananya, pascapelantikan anggota DPRD Sulsel, aktivis perjuangan ini akan melakukan aksi unjuk rasa ke kantor Gubernur Sulsel. Bahkan, jika tidak ada aral melintang, aksi unjuk rasa ini bakal menjadi ucapan selamat idul fitri bagi Syahrul Yasin Limpo.

"Ini sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi, kami sudah bosan menunggu janji-janji Gubernur," jelas salah satu Deklarator FPLR-PKLT, Listan Cr, Kamis 10 September kemarin.

Menurut Listan, sejauh ini FPLR-PKLT sudah melakukan konsolidasi dengan beberapa organisasi perjuangan Luwu Raya lainnya. Dari hasil konsolidasi tersebut, sejumlah aktivis menyatakan bersedia untuk menagih janji Syahrul untuk menerbitkan rekomendasi pemekaran Luwu Tengah.

Listan menambahkan, secara administratif, pembentukan kabupaten Luwu Tengah tersebut sudah lengkap. Tinggal menunggu rekomendasi dari Syahrul. Sayangnya, sejak sudah dua kali pergantian Bupati Luwu (dari Basmin Mattayang ke Bahrum Daido, lalu ke Andi Mudzakar) rekomendasi yang dijanjikan Gubernur Sulsel tak kunjung keluar.

"Sudah tidak ada jalan lain, waktunya melakukan aksi turun kejalan, supaya dia (Syahrul) bisa mendengar,"katanya.

Saat ditanya kenapa mesti pascapelantikan anggota DPRD Sulsel. Listan mengatakan, langkah tersebut dinilai tidak efektif. Menurutntya, anggota DPRD yang baru belum memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan setelah pelantikan. Oleh karena itu, FPLR-PKLT akan melakukan aksi unjuk rasa dikantor Gubernur.

"Saya pikir preasure massa pascapelantikan lebih efektif daripada saat pelantikan, liat saja nanti," jelas Listan.(**)