19 Februari, 2010

Kabut Senja di Puncak Maindo 2 - Selesai

Siang itu, udara dingin terus menusuk tulangku,.. ingin rasanya menghempaskan tubuh ceking ini ke alam lain. Hingga esok, ditemukan mayat berseliweran ditepi jalan

*****


“Ka, ayo lanjut e. Motor mu tidak ada lampunya,” kata Asdhar. Suara itu langsung membangunkan ku dari peristirahatan. Dari situ, kucoba mengumpulkan jiwa jiwa yang masih tertinggal di alam peristirahatanku tadi. Berat rasanya meninggalkan hangatnya tempat pembaringanku saat itu. Dengan mata yang mengantuk , kurapatkan jaket; pelindung hawa dingin.

Kupaksakan membangunkan tubuhku. Lalu menuju motor yang ku parkir tadi. Kulanjutkan perjalanan bersama dengan rombongan lainnya. Tapi entah kenapa, saat itu saya tidak menghiraukan motor anggota rombongan yang tidak bisa mendaki. Langsung saja ku tinggalkan rombongan itu satu persatu.

Satu, dua, tiga jam, saya semakin jauh dari rombongan. Senja mulai berganti menjadi malam hari. Motor traill itu pun semakin aku pacu sekencang mungkin. Sendirian. Menjelang magrib, tiba-tiba, motor yang saya kendarai menghantam kayu besar yang ada di jalan. Aku pun terjatuh dan tertindis motor. Dengan sisa tenagaku , ku coba mengangkat motor itu sendirian. Anehnya, mesin motor ku sudah tidak mau hidup lagi. Sementara saya tidak mempunyai peralatan untuk memperbaikinya.

Lambat laun mentari mulai bersembunyi dibalik malam ,dan gelap datang seiring perubahan alam ini . Dengan teratur dan sangat teratur , alampun berganti menjadi gelap , jangkrik jangkrik malam mulai berdendang, diiringi gemericik air sungai, melagukan irama alam. Keheningan merambah kepenjuru tempat, dan gelap mulai menunjukkan keperkasaannya.

Saya terbuai akan alam malam saat itu, bintang gemintang berkilauan. Jauh di ufuk langit. Terang berkelip ,menyebar ke seluruh penjuru langit . Tiada awan saat itu . . Hanya bintang dan gelapnya malam. “Indah,” kata ku dalam hati.

Sementara, sampai saat itu aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan motor itu. Saya hanya bisa berharap ada seseorang yang datang membantuku. Sejenak, ku tersadar betapa egoisnya diriku; seorang anak manusia yang tega meninggalkan anak manusia lainnya yang juga dalam kesusahan.

Kilauan cahaya dari kejauhan datang membangunkan kesadaranku. Semakin perlahan, cahaya itu semakin dekat. Ku pikir itu adalah cahaya lampu motor. Ternyata sangkaan ku itu benar. Cahaya lampu itu adalah berasal dari lampu motor milik Asdhar dan rombongan yang lainnya. Mereka pun membantu saya dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Maindo.

Entah berapa kali saya terjatuh dari motor dalam perjalanan malam hari itu. Yang jelasnya, selalu ada saja teman yang menolongku saat terjatuh. Rombonganku akhirnya tiba di desa Maindo sekira pukul 02.00 dini hari. Tercatat sebanyak 11 jam perjalanan yang kami lalui untuk melintasi jalan sepanjang 35 kilometer itu.

Di Maindo, kami disambut dengan alunan musik khas kecamatan Bastem. Ratusan motor sudah terparkir dilapangan. Saya pun langsung membaringkan tubuh ditenda yang disediakan khusus untuk menyambut kami.

Dalam pembaringan itu, saya terpana pada eksotisme malam yang menghipnotis alam bawah sadarku. Melintasi samudera fikiran yang luas tanpa batas. Terekam dalam satu memory dari sekian juta untaian kenangan. Alam,… Memberiku banyak inspirasi yang selalu datang menggoda tuk kembali bercumbu . Memberi sekeping semangat dalam menjalani hidup . Mengingat kebesaran Tuhan yang maha perkasa . Malampun semakin larut . . Kami bergegas . . . Menuju pembaringan dalam hangatnya selimut. .

Sengau suara angin malam menemani pembaringanku saat itu. Mata terlelap berurutan menuntun mimpi yang hendak hadir menghiasi tidurku. Pikiranku menerawang, memilah semua kejadian hebat selama bertugas menjadi wartawan di wilayah Luwu Raya. Mulai dari aksi sejumlah karyawan PT Inco yang enggan di PHK, Aksi perang kelompok di kelurahan Mancani, kota Palopo yang tak kunjung usai dari tahun ketahun, longsor di kelurahan battang barat yang menyebabkan jalan poros palopo-toraja terputus, hingga perebutan kekuasaan di dua kabupaten di Luwu Raya. Semuanya terekam jelas dalam pembaringanku saat itu.

Sejenak ku berfikir; sungguh sangat hiruk dan pikuk di kota sana. Selalu saja ada masalah yang harus diselesaikan. Ingin rasanya untuk tetap di tempat ini. Merasakan ketenangan dengan alam yang sangat tenang. Sayang, ternyata hidup adalah masalah. Masalah yang harus dilalui sebagai tantangan. Bukan beban hidup.

Dalam sadarku, kupejamkan mata dan berusaha menyimpan semua lembaran kisah di kepala ku. Karena esok, akan menjadi kehidupan baru lagi saat semuanya melakukan pergeseran. Saya yakin, sebuah tugas baru akan menantiku di tempat lain.


Kabut Senja di Puncak Maindo

“Keindahan adalah apa yang dirasakan oleh jiwa, kepadanya Cinta diberikan. Bukannya diminta”

******

Oleh : Eka Nugraha






Siang itu . . . Udara panas kota Palopo, menyelimuti seluruh permukaan tanah yang sudah kering kerontang . Bercampur debu dan asap kendaraan, berterbangan menusuk paru paru ini. Aroma aspal panas pun menambah semarak runyamnya suasana.

Lama kuberkutat dengan ponselku , mencoba berbagi cerita dengan mantan kekasih yang jauh disana. Meski hal itu terlarang, aku tetap saja melakukannya. Tentunya hal ini mengurangi jatah waktuku untuk menge-pack barang-barang yang belum sempat kumasukkan dalam carriel. Tak mengapa bagiku. Karena Aku masih mencintai dia….

“Mana mi? sudah mau berangkat orang,…” begitu isi pesan singkat seorang kerabatku. Lalu, ku balas isi pesan itu; ”tunggu mi 5 menit lagi.” Tak lama, aku langsung menge-pack pakaian dan ransum yang telah kusediakan sebelumnya kedalam carriel ku. Kuambil helm, lalu kupacu motor traill pinjaman, milik seorang pejabat di Pemkot Palopo.

Akhirnya, aku tiba di rumah kerabatku yang mengirimkan pesan singkat tadi. Sebuah motor traill dan tas carriel, sudah standby di depan rumahnya. Asdhar nama kerabatku itu. Kami berniat untuk memenuhi undangan Bupati Luwu, Andi Mudzakkar merintis jalan yang menghubungkan kabupaten Luwu dengan kabupaten Toraja Utara. Rutenya; kami akan melintasi kecamatan Bua menuju desa Maindo, yang berada di kecamatan kecamatan Bastem. Tempat ini berbatasan langsung dengan kabupaten Toraja Utara.

Rute ini dinilai menjadi jalan alternatif menuju kabupaten Toraja Utara, setelah jalan yang menghubungkan kota Palopo dengan Toraja terputus akibat bencana longsor, 9 November 2009 lalu. Rute yang kami lalui ini dikabarkan memiliki pemandangan yang indah. Sayangnya, rute itu memiliki medan yang berat. Tak satupun kendaraan jenis mobil mampu menembus jalan itu.

Usai shalat Jumat, saya dan Asdhar bergabung bersama dengan sejumlah wartawan yang juga bertugas di wilayah Luwu Raya. Setalah siap, kami pun melanjutkan perjalanan.

Sore berlalu seiring keberangkatan kami . Udara dingin khas pedesaan menyambut suara deru motor yang kami kendarai. Menyusuri jalan berbatu yang sepi dan sedikit gelap ini. Jalan tanah dan terjal mulai menantang nyali. Sesekali, motor yang kami kendarai terpaksa harus melintasi sungai besar yang memotong jalan itu.

Hujan, tak mau kalah sore itu. Dengan tenangnya, dia mambasahi rute yang kami lalui. Meski sudah menggunakan jaket kulit, rasa dingin terus saja menghantam kulitku. Medan yang kami lalui semakin berat. Jalan yang jadi berlumpur semakin menghambat perjalanan. Semakin di gas, roda belakang motor kami semakin tenggelam. Terpaksa, motor itu diangkat atau didorong.

Kelelahan yang amat sangat , terpancar dari raut muka Asdhar. Butir butir peluh meleleh membasahi kening ,mata, dan sebagian telinganya . Nafas nafas berat yang tersengal terhambur dari tenggorokkan , melenting bak ayam yang baru saja tersedak akibat kerikil besar yang ikut termakan.

Tampak sedikit terlihat hembusan nafas Asdhar. Keluar melalui hidung dan mulutnya. Berbentuk gumpalan asap putih tipis yang menyebar dan cepat menghilang. Ku parkir motor traill ku yang penuh lumpur berwarna kuning itu. Lalu, kubaringkan badanku dibalai bambu, tempat Asdhar beristirahat.

* * * *