06 November, 2010

Ketika Hujan Punya Aksara


Bila kau ingin melihat pelangi, rasakanlah hujan terlebih dahulu”


Eka Nugraha

Biringbulu

“Loe, loe, loe,….. Loe, loe, loe”,….. teriak pria bertubuh ceking yang berada di boncengan motor ku sejak beberapa jam lalu.

Dia terus saja berteriak, berkali-kali. Sesekali, teriakannya itu dicampur dengan bahasa Makassar yang saya tidak mengerti apa artinya. Giginya bergemeletuk, seperti sara mesin ketik. Tubuh cekingnya yang dibalut baju kaos oblong hitam juga sudah gemetaran. Dia menggigil kedinginan.

“Ini mantra hujan Eka, kalau teriakannya keras, hujannya bisa berhenti,” kata pria ceking itu.

Bugma, itulah nama orang membonceng di motor ku sejak beberapa jam lalu. Saat itu, kami memang diguyur hujan deras.Kami dalam perjalanan menuju daerah kecamatan Biringbulu, kabupaten Gowa. Kami kesana setelah sebelumnya mendapat informasi jika di daerah itu terjadi longsor hebat. Dua warga setempat tewas tertimpa longsor. Kami berangkat berlima, selain Bugma, juga ada Sule, Arthur dan Hendra. Semuanya mengendarai sepeda motor.

Saat itu, hujan memang kembali menggelitik gelisah. Menderu seperti ombak yang menghempas pasir putih. Sementara aku, dan beberapa teman ku, terus saja menembus tirai-tirai hujan itu. Haru, penuh harap. Tak kuhiraukan.

Sekelebatan pecahan-pecahan air yang menyentuh kaca helm ku seakan merembes mengenai wajah. Meski begitu, kami tetap melanjutkan perjalanan.

Butir-butir air itu terus turun, musim hujan kali ini memang serasa menghentakkan. Menekan batin meronta, mencoba merengkuh anak manusia yang getir karena dingin.

Setelah beberapa kilometer melintasi jalan-jalan basah di lokasi itu. Kami menemukan rumah penduduk. Berteduh sejenak, sambil menanyakan sisa jarak menuju lokasi yang akan kami datangi.

Saya melihat Bugma saat itu. Laki-laki itu berwajahkan debu-debu jalanan yang setiap hari dipungutnya dari waktu-waktu kerjanya. Dia memang selalu ingin menjadi seorang pengejar berita yang hebat. Baginya mereka adalah pahlawan-pahlawan perekam sejarah dan beragam peristiwa.

Badannya yang terbungkus baju kaos oblong, tanpa jaket atau mantel itu terus gemeratan. Nafasnya terisak-isak, seperti orang yang berusaha mengumpulkan jiwa-jiwa yang kelelahan. Dia kemudian mengambil sebatang rokok dari tas pinggangnya yang terbungkus plastik.

“mantranya tidak berhasil, hujannya terus turun,” ujar Bugma, sambil mengepulkan asap-asap mentol dari sela-sela bibirnya.

Jemarinya yang juga ceking memainkan sebatang rokok. Dia menghirup asap-asap itu dengan nyaman, senyaman pengetahuannya bahwa ia meracuni paru-parunya setiap saat dalam helaan nikotin.

Hujan tidak menakutkan baginya. Setelah satu batang rokoknya habis, dia masih ingin melanjutkan perjalanan.

Melihat gelagat itu, saya langsung teringat, seseorang pernah berkata kepada saya tentang hujan. Perkataannya seperti rentetan kalimat sastra tentang hujan. Kira-kira kalimatnya seperti ini:

“kamu mungkin lebih suka berteduh, tetapi aku lebih suka berjalan di antara desah hujan. Air ini membuat aku merasakan hidup. Hidup yang tidak gersang semata-mata karena matahari. Basah, adalah sahabat, yang memenuhi pori-poriku dengan kebutuhan untuk merasakan gigil dan gemeletuknya rindu. Kau tidak pernah tahu arti rindu sebelum membiarkan hujan memandikanmu.”

Sebuah kalimat sastra tentang hujan dan aksaranya. Kalimat itu menjadi doktrin yang menginjeksikan akal pikiran ku. Merubah akal tentang hujan dan semua kisah tentangnya.(***)

21 Mei, 2010

Selamat jalan Sang Maestro Sinrilik

Hikayat Terakhir Sang Maestro

“Terakhir, dia berpesan. Katanya, semua yang dilakukannya ini adalah untuk orang banyak. Bukan untuk dirinya,”

EKA NUGRAHA
Sungguminasa

Matanya sembab, hidungnya juga memerah. Sesekali, dia mengusap air matanya yang nyaris menetes itu dengan tissu. Wajahnya juga tampak berantakan. Bisa ditebak, semalaman dia tidak tertidur dengan nyenyak.

Dia menangis,…!!! Ya, dia menangis. Ini kali pertamanya saya melihat dia menangis. Tiga pekan sebelumnya, saya melihat dia dengan wajah cerianya. Saat itu, suaranya melantun merdu diiringi gesekan musik rebab kuno. Saya sendiri tidak menyangka, hari itu adalah hari terakhir saya mendengar musik rebab kuno tersebut.

Wajahnya seperti orang yang kerampokan. Kehilangan satu barang kesayangan, yang bersamanya telah merangkai banyak kenangan, sekaligus menyimpan harapan. Tapi ini bukan barang. Ini juga bukan juga miliknya, yang untuk mendapatkannya harus menukar dengan uang. Saat itu dia baru saja kehilangan gurunya, Sirajuddin Daeng Bantang seorang Maestro Sinrilik yang mengiringi suaranya dengan lantunan musik rebab kuno setiap kamis malam di studio Rewako FM.

Jumat 14 Mei lalu, Sirajuddin Daeng Bantang telah pergi. Sang Maestro itu telah pergi untuk selamanya dan tidak akan kembali. Saya tahu, tidak hanya perempuan itu yang menangis. Seluruh orang yang mengenalnya juga pasti menangis. Meski saya tahu pula, beberapa diantaranya berhasil memendam tangisannya dalam hati.

Sementara tangisan-tangisan itu terus mengalun, angin perlahan-lahan bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam dalam awan yang mulai mendung. Semesta terkesima dan seketika terdiam. Lalu, membalasnya dengan ikut menagis.

Hari itu, alam seakan memperlihatkan kesedihannya. Sebutir tetesan air hujan yang bergulir mendadak tergantung beku di ujung daun. Angin pun bertiup kencang dan mencampakkan daun-daun kering. Ratusan juta tetesan air hujan lainnya pun juga ikut menderu muka bumi ini, mendinginkan hati setiap orang yang merasa kehilangan.

Desing suara sirine mobil ambulance merontokkan perasaan jemaah yang baru saja menggelar shalat Ghaib saat itu. Awalnya, suaranya sangat keras. Memekikkan telinga. Lalu, perlahan meredup dan menghilang. Begitu juga dengan mobilnya, melaju kencang mengantarkan sang Maestro ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Alampun tak mau kalah. Petir halilintar menyalak bagaikan seruling yang nyaring memekakkan telinga. Bunyi badai yang bergemuruh itu terasa memilukan hati. Dan hujanpun masih tercurah.

Saya sendiri hanya terpaku dalam diam, dingin begitu menusuk semua persendianku, gelombang besar bergulung-gulung dengan gemuruhnya yang menjadi ombak. Sekarang semuanya telah terjadi, saya tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa berlindung dari hantaman bulir-bulir hujan yang membasahi bumi. Tapi tidak dengan perempuan itu. Meski matanya masih sembab. Dia masih tampak tegar dan berjanji akan melanjutkan seni sinrilik dari sang Maestro.

“Iya. Tinggal saya yang bisa melantunkannya. Teman yang lainnya, hanya bisa memainkan rebab,”kata perempuan itu.

Nur Indah Aseani nama perempuan itu. Dia adalah murid terdekat Sang Maestro. Sekali lagi, kekaguman ku ada padanya. Tapi, kali ini bukan pada suaranya. Melainkan pada ketegaran hatinya menghadapi hantaman duka yang baru saja melandanya. Karena saya tahu, siapapun pasti tidak akan mau merelakan kepergian orang semacam Sirajuddin Daeng Bantang. Apalagi untuk seorang murid seperti Nur Indah.

Perempuan yang kerap disapa dengan Nur itu terus saja berharap dapat melestarikan warisan sang Maestro itu. Banyak hal yang masih menjadi pekerjaan rumah buatnya. Salah satunya adalah merampungkan naskah Sinrilik tentang kejayaan seorang tokoh pejuang fenomenal, Syekh Yusuf. Naskah itu disebut-sebut masih tertulis dalam bahasa Makassar kuno. Butuh ketelitian untuk menerjemaahkan maksud tulisan itu.

*****

Menjelang sore hari, badai mulai bersahabat. Angin mulai berhembus sepoi-sepoi. Bulir-bulir hujan tidak lagi turun dengan derasnya. Begitupun dengan desingan petir. Tidak ada lagi suara yang memekikkan telinga. Awan gelap pun mulai berubah menjadi senja. Sayangnya, matahari nyaris tidak terlihat di hari itu.

Hampir sama dengan kisah sang Maestro. Kisah itu, sekarang menjadi sebuah kisah klasik untuk dikenang. Tidak ada lagi gesekan rebab sang Maestro. Begitupun dengan rentetan dakwah dalam lantunan Sinriliknya. Semua tertanam dalam kenangan anak dan cucunya kelak.

Besok, lusa atau kapan pun itu, saya yakin anak cucu bangsa ini akan berkata; “Di Gowa, pernah lahir seorang pendakwah (daeng), seorang seniman sinrilik terkenal yang pernah membawa nama harum Bangsa ini ke penjuru dunia. Dia bernama; Sirajuddin Daeng Bantang,”

Di penghujung sore, saya dan beberapa rekan-rekan wartawan seperjuangan di kabupaten Gowa kembali melakukan aktivitas rutin kami. Seperti biasa; menekan tuts di keyboard menjadi susunan kalimat untuk sebuah naskah berita.

Disebuah Cafe, ditemani laptop dan semilir angin senja, jari-jari ku semakin lincah mengetikkan susunan kalimat itu. Maklum menjelang deadline. Satu, dua dan tiga jam berlalu, akhirnya saya dapat merampungkan naskah beritaku. Judulnya; Maestro Sinrilik Tutup Usia. Ku kemas naskah itu, lalu ku kirim ke redaksi. Dan selesai sudah tugas ku untuk hari itu. Tentu saja, saya berharap berita tentang kepergian Sirajuddin Daeng Bantang dapat tersebar luas keseluruh penjuru nusantara.

Senja mulai berganti malam. Cafe tempat kami mengetik berita semakin sejuk dengan hempasan angin disore itu. Cafe ini memang sangat indah. Bentuknya seperti rumah panggung, dengan kolam ikan di bagian bawahnya. Ada juga kolam renang disisi kanannya. Sejenak, kulayangkan pandangku ke arah langit. Menikmati indahnya senja dalam hidup ku ini.

Senja hari itu takkan pernah berakhir dalam hidupku, aku berdiri di sisi kanan cafe menatap kolam renang yang indah dengan mata berkaca – kaca, semilir angin semakin menyayat hatiku. Saya sendiri mencoba membaca sekali lagi goresan luka perasaan Nur Indah yang baru saja tertimpa duka itu.

“Tuhaaaaaan…sungguh terasa sakit, sakit sekali jika ditinggal seseorang yang kita cintai. Mungkin ini teguranmu untuk aku yang selalu melupakanMu”,bisikku, lirih..

Aku menghela nafas panjang lalu kuhirup udara perlahan. Sungguh sejuk sekali angin senja itu. Meski dada masih terasa berguncang hebat mengingat semua kepedihan yang baru saja terlewati.

Sekarang, Sang Maestro sedang terdiam dan kaku di alam peristirahatannya. Menikmati indahnya “alam kedua” bersama-Nya. Dalam diamnya, dalam tenangnya, saya yakin dia akan tersenyum bangga melihat perjuangan Nur Indah yang berusaha melestarikan warisannya. Dan semoga, masih banyak Nur Indah lainnya yang ingin ikut dalam perjuangan itu. Sebuah perjuangan untuk mengingatkan penghuni jagad raya akan filosofi hidup seorang anak manusia.

Selamat Tinggal Sirajuddin Daeng Bantang....
Terimakasih atas semua kebaikan yang telah kamu lakukan diatas muka bumi ini,..

Hormat ku:
Eka Nugraha.(eka)

12 Mei, 2010

When Silence Speaks


One day, he will speak, .. He will reveal what actually occurred, ... Although all of them limited,...


EKA NUGRAHA
Bukit Manggarupi

Bapak..Mama ..kalian tau gak! Sekarang aku bagaimana?, dan ada di mana? Dalam kembara rantauku, jauuuh sekali. Mengelanai ruang-ruang hampa. Akhirnya aku sampai di suatu tempat yang tak bernama. Tempat ini sunyi, pengap, pekat, sesak, berdinding kristal yang buntu, tak bercelah, tak berjendela. Lama sekali Aku disini sendirian. sepi..Bapak..aku takut.! Kian hari kian mencekam Mama..!

Kesepian itu sudah mengkristal dalam hati ku. Dia mulai memadat, nyaris tanpa celah, tanpa rongga atau sekedar pori-pori. Tidak ada satu titik pun celah untuk membuat perasaan ini menjadi ramai. Bahkan, dinding-dinding kristal itu terus saja meluas. Luas tanpa batas, pipih tanpa tepi. Sekeras apapun dentuman suara kota, aku tetap saja dalam kesepian. Sepi, mesti dalam keramaian.

Bapak, Mama, saat membuat tulisan ini, anakmu semakin kurus, dan hanya memiliki sedikit uang. Tidak banyak yang bisa diperbuat oleh anakmu ini. Semakin berbuat dan berkata, semakin sepi pula perasaan ini.
“Idealisme itu, seperti gogos yang berisi empedu. Rasanya pahit,” seperti itu kata seorang seniorku semasa di kampus dulu.

Kalimat itu seperti ada benarnya. Seolah meninjeksikan pahaman aneh dalam pikiranku. Kadang, jiwa yang kurus ini berfikir, untuk apa melakukan semua ini?. Saat berbuat untuk orang banyak, bukan kawan yang terus bertambah. Tapi, lawan yang terus beranak pianak.

Bapak,.. Mama,... Netralitas sudah tidak ada lagi di tempat ku ini. Padahal, kita semua tahu, hanya netralitas yang selalu menjadi batasan setiap manusia. Namun, saya tetap berusaha sekuat tenaga untuk netral karena kalian lah yang telah mengajarkan semua ini. Kalian pernah berkata, manusia harus hidup diantara hitam dan putih.

Wahai Bapak ku tersayang dan Mamaku tercinta, dalam pengembaraan ku ini aku menemukan suatu pelajaran yang sangat berarti. Ternyata, idiot itu bukanlah kebiasaan. Justru kebiasaanlah yang menjadikan manusia menjadi orang yang idiot. Kebiasaan, juga tidak akan menjadi kebiasaan, jika tidak ada seorang pun yang memaksakan kebiasaannya.

Tidak Bapak,..!! Tidakkk Mama,... Saya bukanlah orang munafik. Saya tidak akan mengikuti kebiasaan orang-orang itu. Saat ini, ribuan orang memercayai saya. Setiap hari mereka membaca rentetan tulisan saya. Adalah sebuah kemunafikan jika saya mengkhianati kepercayaan mereka semua. Saya janji, meski tidak bisa berbuat apa-apa, saya akan tetap bertahan pada idealisme yang kalian ajarkan.

Bapak, Mama, kemarin siang, di tengah raung mesin kendaraan bermotor dan hiruk pikurnya pikiran ini, ponsel tuaku bergetar. Sebuah nomor asing berkedip-kedip gelisah. Aku kaget, menerima pesan singkat dari seseorang yang terkasih. Dialah orang yang mebuat hidup ini bercahaya, tapi dia juga telah membuat kesunyian ini menjadi kristal. Mejnadi Kristal dan terus membatu setelah kepergiannya

Setelah dia pergi, sungguh hari menjadi berjalan lambat kurasa. Harapan tuk terus bersama pupus sudah. Dia pergi dengan kesepian pula, tak pernah ku antar Dia. Tak pernah ku lepas dengan lambaian tangan. Saya hanya menyampaikan kata;”Persetan dengan adat mu,”. Mengingat peristiwa itu memang perih rasanya. Tapi itulah yang terjadi. Di perpisahan antara saya dan dia, beberapa waktu silam.

Kubalas pesan singkat itu dengan menelponnya kembali. Kukerjakan hal itu untuk mencoba mencekal ras rindu yang terus memberontak ini. Dibalik speaker telepon genggamku, dia bercerita banyak. Tentang kehidupan barunya yang penuh warna, penuh gairah dan sangat ramai. Saat itu, ku pastikan dia tidak se sepi diriku ini.
Akhhh,... Aku baru sadar, dia sekarang tidak perduli lagi dengan saya. Ku kemas rindu ini, lalu ku kubur bayangan dirinya dalam hatiku. Hingga akhirnya, kesepian melandaku, hingga saat ini. Apa boleh buat, ku putuskan hubungan telepon itu, lalu menginggalkan semua kenangan.

Bapak,... Mama,... Saat itu,... kutimang ponsel dengan gamang. Kenangan kampung halaman begitu menyentak. Antara iya dan tidak, sebenarnya aku sudah diperkenankan untuk pulang menjenguk kalian. Aku akan pulang,... !!! ya, aku akan pulang. Hingga saatnya tiba aku akan benar-benar PULANG.

Bapak,.. Mama,... Dalam kesepian ini, tidak banyak yang bisa saya perbuat. Saat membuat tulisan ini, saya berkata, Kesepian ku akhirnya berbicara. Meski hanya lewat tulisan dan berharap semua orang mengetahui saya. Agar semua orang sadar, jika hidup bukan hanya untuk uang.

Bapak,.... Mama,... Ada ku mamacu waktu, menuju mu,................

*) Di kloning dari berbagai sumber,....

23 April, 2010

Suatu malam bersama Maestro Sinrili'



Gema Sinrili’ di Alam Cintanya

“Banyak cara untuk memanifestasikan rasa Cinta. Bisa dengan suara melankolik, suara lantang menggema, bisa juga dengan tulisan,”

EKA NUGRAHA
Sungguminasa


Suaranya merdu. Nadanya sebentar tinggi melengking. Sebentar lagi lemah dan merendah, lalu kemudian mendayu. Dinamisasi lagu sangat disesuaikan dengan irama cerita yang dia nyanyikan. Adakalanya di lambatkan, kadang kala pula di cepatkan. Dia melantunkannya dalam bahasa Makassar tradisional, sesekali juga dengan bahasa Indonesia.

Diruang siaran radio lokal Rewako FM, Kamis, 22 April malam, dia berduet dengan sang Maestro Sinrili, Sirajuddin Daeng Bantang. Berbaju batik warna biru, celana jeans dan kudung seadanya, malam itu dia tampak sederhana. Seperti perempuan pada umumnya, sekilas tidak ada yang lebih dari dirinya. Namun, hal itu menjadi terbalik saat dia mulai melantunkan syair sinrili. Suaranya sungguh sangat merdu.

Nur Indah nama perempuan itu. Suaranya menggema di ruangan di sekitar 20 meter persegi. Lantuan prosa sinrili’ dia bawakannya dengan sempurna. Apalagi, malam itu, Sang maestro Sinrili’ mengiringi tuturan suaranya dengan musik keso-keso (rebab). Bak simponi, suaranya sungguh tersangat indah.

Seumur hidup, inilah kali pertama saya mendengarkan lantunan sinrili’. Malam itu, Indah melantunkan Sinrili’ dengan menggunakan bahasa Makassar. Suaranya lantang dan melengking. Namun tetap saja terdengar sopan. Sayang, saya tidak tahu apa artinya,

Sesekali, nama ku sempat disebut dalam lantunan prosa sinrili’ itu. Beberapa orang didalam ruangan itu kemudian tertawa. Tapi tetap saja, saya tidak tahu artinya. Saya hanya bisa membalasnya dengan ikut tertawa juga supaya tidak terlalu kelihatan bodoh.

Setelah mencari tahu tentang Sinrili’ melalui internet, saya pun sedikit memahaminya. Sinrilii’ adalah sebuah cerita yang tersusun secara puisi atau prosa lirik. Diceritakan dengan cara bernyanyi oleh seorang ahli dengan iringan sebuah alat yang digesek, yang disebut “keso-keso” (rebab). (http://makassarterkini.ning.com).

Sinrili’ sebenarnya adalah lantunan kisah dan hikayat hidup yang diceritakan dalam bentuk nyanyian. Bahkan, sesekali, lantunan itu berisikan nilai kritik terhadap pejabat dan orang-orang yang mendengarkannya. Terlintas dipikiranku, fungsi sinrili’ sebenarnya sama dengan profesi ku sebagai wartawan. Keduanya sama-sama sebagai kontrol sosial (Social of Control).

Dalam Sinrili’ terdapat unsur-unsur yang bernilai keluhuran dan keindahan yang tinggi. Kekuatan Sinrili’ tidak tercapai dengan keindahannya semata, namun muatan nilai-nilai luhurnya yang sarat petuah dan pelajaran berharga. Dengan irama yang mengalun dan dengan kata-kata yang indah saja, Sinrili’ belumlah dapat dianggap sebagai satu alat untuk mencapai nilai keluhuran dan keindahan, apabila isinya kosong.

Ini bermakna filosofi tersendiri, bahwa seseorang yang apabila hanya mengejar ‘keindahan’ lahir saja tanpa memperhatikan ‘keluhuran’ bathin, maka keseimbangan (harmoni) hidup akan berkembang tak selaras.

Sungguh, sebuah tugas yang sangat mulia. Sebuah cinta di alam bangsanya, membuat pekerjaan itu menjadi hal yang indah. Meski suara itu tidak se tenar artis ternama lainnya. Demi seni dan budaya; teruskan melantangkan suara mu, buat lengkingannya menjadi benteng peradaban bangsa. Selamanya.(***)

08 April, 2010

Kisah Klasik Kampus

Orang-orang itu Berada di Lorong Gelap

“Berjayalah kalimat-kalimat yang kutulis. Sebab mereka mendapat teman dan musuh yang menghormati,” (Kudedikasikan Buat, Angsu:"Selamat Ulang Tahun")



Oleh :
Eka Nugraha

Kota yang ramai, saling sibuk dan bergerak maju. Mungkin seperti itulah rasanya saat melintasi wilayah perbatasan antara kabupaten Gowa dan kota Makassar saat sore hari. Deru kendaraan, suara bising, macet, asap knalpot, dan debu yang beterbangan, selalu saja menjadi sajian pemandangan sore di tempat itu. Diantara deru masalah-masalah itu, terus saja ku percepat laju motor ku. Maklum, saya sedang ada janji dengan adik-adik juniorku di bekas kampus ku dulu.

Saat tiba di kampus itu, kenangan ku mulai tersibak. Seperti potongan-potongan film yang ditonton berulang-ulang. Maklum, mungkin sekira setahun lebih, aku tidak menginjak kampus ini lagi. Meski sudah bertugas di kabupaten Gowa sejak empat bulan terakhir, aku baru bisa menyempatkan diriku untuk mampir dikampus ini, Kamis 8 April 2010.

Kampus ini memang banyak memberikanku kenangan yang manis. Mulai dari membangun gerakan yang massif untuk kepentingan pribadi sampai kisah klasik; mencuri nilai untuk bisa selesai tepat waktu ---walau hasilnya, saya menyelesaikan kuliahku tidk tepat waktu. Sungguh manis rasanya kenangan itu. Andai dia tidak berlalu begitu cepat.

“Haluuu, Kanda……,” Teriakan itu memaksaku untuk memalingkan muka dari arah suara. Terlihat sosok pemuda, gemuk, pendek, dan berjanggot tipis dengan baju kemeja yang berantakan. Dia duduk di kantin kampus dengan beberapa, pemuda lainnya, tentunya dengan tampang yang berantakan pula. Merekalah, adik junior ku. Pemuda gemuk , pendek dan berjanggot itu namanya, Kasman. Sedangkan yang lainnya, aku tidak terlalu kenal. Setahuku, mereka adik juniorku yang baru masuk di kampus itu.

“kak, adek-adek ini mau minta tolong, kita lagi ada masalah,” kata Kasman memulai pembicaraan. Padahal, saya belum juga duduk dikursi.

Kami pun bercerita panjang lebar di tempat itu. Inti pembicaraan itu, mereka protes terhadap kebijakan kampus yang mengeluarkan peraturan kemahasiswaan. Isi aturan itu, menjelaskan jika Mahasiswa yang akan aktif dari lembaga kemahasiswaaan, adalah mereka yang memiliki IPK minilai 3,5. Selain itu, mereka juga harus diatas semester IV. Sungguh tidak adil menurutku. Bisa jadi ini akan menjadi kuburan buat para “pembangkang” baru di kampus UNM.
Wajar saja, kampus ini terkenal dengan tempatnya para “pembangkang”. Mahasiswanya, tidak segan-segan untuk melakukan otokritik terhadap hal-hal yang dianggap menyimpang kepada siapapun. Bahkan, sejumlah aktivis gerakan, menilai kampus yang penghasil “Oemar Bakry” (Tokoh guru yang lahir dari lagu Iwan Fals) ini sebagai salah satu motor gerakan di Indonesia Timur.

Sejak dua tahun terakhir, kampus ini memang agak berubah. Sejumlah bangunan tinggi menjulang mulai terbangun di tempat ini. Tidak hanya itu, gaya hedonisme, juga mulai agak kental di tempat ini. Jika kampus ini adalah cerminan sebuah kota “kecil”, aku bias simpulkan, kampus ini sudah Patolopolis ---Kota yang penduduknya menunjukkan banyak dihinggapu penyakit mental.

Saat itu, hati kecil ku berkata; sungguh malang orang-orang yang kuliah disini. Mereka berada di lorong yang gelap, harus di hadapkan dengan cahaya yang “menyesatkan”. Mereka yang jauh-jauh datang dari kampung masing-masing untuk belajar, harus dikebiri ilmunya dengan aturan yang tidak jelas. Padahal, saya ingat jelas kalimat seorang dosen Pendidikan kewarganegaraan saya. Waktu itu dia berkata; tidak ada dinding setebal apapun yang menghalangi manusia untuk mencari ilmu pengetahuan.

Sungguh malang nasib mu adik-adik ku. Mengapa harus takut dengan gelap. Nyalakan api kebenaran, lalu usirlah semua gelapnya.(***)

26 Maret, 2010

Mak Cappong, Maestro Tari Pakarena dari Gowa

Melanglang Dunia untuk Budaya Bangsa


Tubuhnya tampak kurus, di usia nya yang lebih dari setengah abad. Keriput kulitnya ikut menghiasai wajahnya yang berkacamata. Gerak tangannya pun gemulai.Dialah Mak Coppong Daeng Rannu, seorang maestro tari pakarena asal kabupaten Gowa.


Eka Nugraha

Kampili, Gowa



Disebut-sebut, perempuan inilah yang mampu menarikan Pakarena dengan utuh, lengkap dengan kesakralannya sebagai sebuah tarian yang penuh dengan symbol kehidupan masyarakat Gowa.

Saat penulis berkunjung ke rumahnya di desa Kampili, Jumat 19 Maret kemarin, perempuan tua ini tampak duduk di atas balai bambu di bawah kolong rumahnya yang berbentuk panggung. Seperti rumah warga desa Kampili lainnya, rumah Mak Coppong juga terbilang sangat sederhana. Bahkan, beberapa dinding rumahnya terlihat sudah lapuk.

Mak Coppng adalah anak tunggal dari pasangan Daeng Baco dan Ba Iyo, masa kecilnya dihabiskan di desa Kampili, Kecamatan Palangga, kabupaten Gowa. Konon kabarnya, desa ini juga pernah menjadi pusat militer Belanda saat menduduki Indonesia.

Di usia 10 tahun, Mak Coppong sudah mulai belajar tari Pakarena. Tarian ini adalah tarian khas Makassar kuno yang dulu kerap dipersembahkan di Istana kejaraan Gowa dalam acara resmi. Tarian ini memang hanya bisa di ajarkan kepada anak yang berusia 10 tahun. Pasalnya, jika sudah diatas 10 tahun anak perempuan sudah tidak bisa lagi belajar gerakan tari itu dengan alas an gemulai gerakannya akan berbeda.

Sallo-sallo mi anjo, (Bahasa Makassar yang artinya; sudah lama sekali mi itu)” kata Mak Coppong, saat penulis menanyakan sejak kapan dia menggeluti tari Pakkarena tersebut.

Tidak heran memang, jika penari di tuntut untuk gemulai dalam tarian Pakarena. Tarian ini, memang selalu identik dengan deru gendang yang mengentak bergemuruh. Jika pakarena mencerminkan kelembutan, gandrang pakarena menggambarkan keperkasaan pria Makassar.

Didampingi Sekdes Kampili, Ridwan dan anak kedua Mak Cappo, Ibrahim Daeng Nutung, perempuan tua ini tampak semangat menceritakan kisahnya selama menjadi penari pakarena. Mak Cappo tidak bisa berbahasa Indonesia, ceritanya pun terpaksa di terjemahkan oleh Ridwan atau Ibrahim.

Mak Coppo mengaku, tarian pakarena yang dilakoninya sempat di hentikan oleh anggota pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) atau yang lebih di kenal dengan sebutan “gerombolan”. Saat itu, tari Pakarena dihentikan dengan alasan tarian itu dianggap sebagai tari penyembah berhala oleh gerombolan.

“Kita dilarang waktu itu untuk melakukan atau mengajarkan tarian,” jelas Mak Coppong dengan bahasa daerah Makassar.

Namun, sekira 1973, tarian itu kembali bisa dilakonkan. Bersama dengan sejumlah sanggar seni yang ada di Sulsel, tarian ini pun kembali dimunculkan sebagai asset budaya Bangsa.

Di tahun 2004 tarian ini semakin terkenal. Selama tiga bulan mak Coppong keluar negeri memenuhi undangan untuk melakonkan tarian itu. Dia melanglang buana dari Singapura menuju negara-negara Eropa, Amerika Serikat hingga Australia untuk menjadi penari dalam pementasan I La Galigo yang disutradarai Robert Wilson. Akhir tahun 2006 lalu, dia tampil pada Festival Budaya di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Terakhir, Mak Cappong melakonkan Tariannya di Taipei, Cina pertengahan 2008 lalu.

Sampai sekarang, ia tetap bersemangat menarikan tarian Pakarena melalui gemulai gerakannya. Namun, beberapa tahun belakangan ini, Mak Coppong tidak lagi tampil sebagai penari.Kondisi fisiknya yang sudah tua tidak mungkin lagi untuk melakonkan tarian itu.

Namun, semangatnya untuk mempopolerkan tarian Pakarena tetap ada. Baginya menari adalah panggilan jiwa dan bertekad menekuni terus tarian itu agar seni tradisi suku Makassar tak lenyap tergerus budaya populer. Mungkin ini juga yang membuat dirinya tetap bersemangat menjalani sisa hidup, sembari menularkan ilmu tari pada sedikit orang muda yang tertarik pada seni tradisi.(***)

25 Maret, 2010

Melirik Bukit Maggarupi, Bukit kota di Sungguminasa

Dianggap Keramat, Nyaris Diledakkan dengan Bom

Bagi warga kabupaten Gowa tentu mengenal kawasan Bukit Manggurupi. Kawasan bukit yang berada di wilayah Kelurahan Paccinongan, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa ini, ternyata adalah satu-satunya bukit yang ada dalam kota Sungguminasa.


EKA NUGRAHA
Somba Opu

Beberapa siswa tampak bersantai di puncak bukit Manggurupi. Sementara, di arah lain, Beberapa siswa lainnya tampak sedang berteduh dibawah pohon sambil melihat pemandangan Sungguminasa dari ketinggian.

Kira-kira seperti itulah pemandangan bukit Manggurupi, Jumat 5 Maret kemarin. Bukit yang kelihatan tandus dengan struktur lahan yang mayoritas bebatuan itu memang selalu menjadi alternatif wisata di kabupaten Gowa. Selain karena dekat, pemandangan di bukit ini juga menggoda perhatian warga.

Bukan hanya pemandangan yang menarik dari bukit ini. Warga kelurahan Paccinongan juga menganggap bukit ini adalah situs kerajaan Gowa. Sejumah mitos lahir dari bukit ini. Pasalnya, bukit ini di huni oleh makhluk halus.

Sebuah perusahaan bernama PT Nusa Sembada Bangunindo bahkan disebut akan meledakkan bukit ini dengan bom. Rencananya, perusahaan besar ini akan membangun perumahan di atas bukit tersebut. Peledakan bom itu dilakukan untuk meratakan lahan bukit yang berstruktur bebatuan itu. Kemudian membangun perumahan di atas kawasan tersebut.

“Pernah mau diledakkan, tapi warga melarang karena akan merusak situs,” jelas sekretaris Lurah Maccinongan, Ikbal, Jumat 5 Maret kemarin.

Ikbal mengatakan, pada 1999 lalu, sebuah perusahaan Tambang juga pernah melakukan eksplorasi di tempat itu. Saat itu, sebuah keanehan terjadi. Mobil dump truk yang mengangkut batu dari bukit itu tidak bisa menurunkan muatannya meski truk itu sudah memiringkan bak penampungannya.

“Nanti dikembalikan ke areal bukit, baru muatannya bisa turun dari mobil itu,” jelasnya.

Beberapa bulan kemudian, dua pimpinan proyek ekplorasi tersebut meninggal dunia. Ikbal mengaku tidak mengetahui persis penyebab meninggalnya kedua pimpinan proyek itu.

“Saya tidak tahu persis kenapa mereka meninggal dalam waktu yang bersamaan, tapi ada informasi, katanya keduanya meninggal dalam keadaan bisu,” jelasnya.

Tidak hanya itu, sejumlah warga sekitar juga kerap melihat sosok seorang wanita berbaju merah melintas di sekitar bukit itu. Ada juga yang mengaku mendengar suara tangisan saat malam hari.

Ikbal juga membenarkan jika warga mempercayai jika bukit itu adaah kaki gunung Bawakaraeng. Oeh karena itu, warga melarang keras merusak apalagi meledakkan bukit dengan ketinggian sekira enam meter diatas pemukaan laut tersebut.

“Kita khawatir, jangan sampai alau diledakkan akan membawa dampak negatif terhadap kabupaten Gowa,” jelasnya.(***)

20 Maret, 2010

Melirik Aset Pejabat dan Pengusaha di Kawasan Parangloe

Ada Villa Pejabat dan Peternakan dari Luar Negeri

Sejak 1999, kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa resmi memiliki sumber air "raksasa" yang diberi nama Dam Bilibili. Sejak saat itu pula, beberapa pejabat dan pengusaha mulai menginvestasikan sejumlah lahan ditempat itu.



Eka Nugraha- Amiruddin
Parangloe,
Harian Fajar Edisi Januari

Kawasan Parangloe, Kabupaten Gowa mendadak berubah menjadi lahan yang mahal sejak dibangunnya Dam bilibili. Sejumlah pejabat dan pengusaha mulai menanamkan aset diwilayah itu. Bukan hanya dari wilayah Sulsel. Beberapa pengusaha dari negeri lain juga ikut menanamkan aset di tempat itu.Aset mereka itu beragam. Mulai dari peternakan sampai membangun villa di lahan tersebut.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari kantor kecamatan, sedikitnya terdapat enam pejabat dan pengusaha yang menanamkan asetnya diwilayah tersebut. Keenam pejabat dan pengusaha tersebut masing-masing adalah Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri) Komisaris Jendral Polisi (Komjen Pol) Yusuf Manggabarani, Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, Mantan wali kota Makassar, Baso Amiruddin Maula, Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo, dan Pengusaha asal Belanda, John Panre, dosen Unhas, Basri Palu. Tidak main-main, luas lahan yang mereka "kuasai" antara satu sampai 10 hektar. Semua pejabat dan pengusaha tersebut menanamkan asetnya dalam bentuk pembangunan Villa di bagian bukit disekitar kawasan Parangloe.

Selain itu, informasi dari kantor kecamatan setempat menyebutkan ada juga pengusaha asal China yang menanamkan asetnya dalam bentuk lokasi penggemukan hewan ternak. Sedikitnya 300 ekor sapi dapat ditampung diwilayah ternak tersebut.

Sekretaris Camat Parangloe, Tajuddin Dolo yang ditemui diruang kerjanya, Rabu 13 Januari membenarkan adanya informasi tersebut. Dia mengatakan, pembangunan villa tersebut sebenarnya telah dimulai sejak kawasan Dam Bilibili terbentuk. Pasalnya, saat itu, wilayah Dam bilibili adalah salah satu kawasan yang dianggap mewah saat itu.

Lalu berapa harga tanah waktu itu? Tajuddin mengatakan, waktu itu lahan disekitar parangloe terbilang mahal. Harganya antara Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu untuk satu meternya. Namun, belakangan, harga lahan disektar tempat itu kembali turun. Sekarang harganya hanya mencapai Rp 20 ribu permeternya.

"Saya tidak tahu, harganya sekarang menjadi turun. Mungkin karena pengaruh longsor tahun 2004 itu," jelas Tajuddin.

Tajuddin mengatakan, saat ini villa-villa tersebut hanya dijaga oleh beberapa orang warga sekitar. Mereka diberi upah oleh pemilik Villa. Upahnya beragam, antara Rp 700 ribu sampai Rp 1 juta. Sedangkan pemilik Villa, sesekali saja.

"Datangnya, paling banyak dua kali dalam satu bulan," jelas Tajuddin.

Usai dari ruang kerja Tajuddin, penulis mencoba mencari lokasi salah satu villa yang dimaksud. Salah satu lokasi villa yang terdekat adalah milik pengusaha asal Belanda, John Panre. Lokasinya berada di lokasi ketinggian kelurahan Bonto Parang, kecamatan Parangloe, kabupaten Gowa.

Medan yang mendaki dan licin --- apalagi saat itu sedang hujan --- membuat sulit untuk menjangkau lokasi tersebut. Setelah beberapa saat, sebuah bangunan berwarna putih ke cokelatan tampak berdiri megah ditangah-tengah kebun jagung. Pemandangan dam bilibili jelas terlihat di tempat itu. Ini lah villa yang dibangun oleh pengusaha asal Belanda, John Panre.

Sementara itu, ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Muhammad Said Saud menilai pembangunan villa tersebut adalah mubassir. Menurutnya, seharusnya lahan itu dikelola oleh penduduk sekitar yang mulai kehilangan mata pencarian.

"Sebaiknya dikembalikan lahannya untuk warga, karena warga saat ini mulai kehilangan mata pencarian," jelas Said.

Said mengatakan, dulu warga kebanyakan melakukan aktifitas tani di kawasan pegunungan Parangloe. Namun, setelah ada rencana pembangunan Dam Bilibili, sejumlah lahan warga mulai di bebaskan. Akibatnya, sebagian warga terpaksa di transmigrasikan di kabupaten Luwu. Setelah beberapa tahun kemudian, warga kemudian kembali ke kawasan Parangloe. Alasannya, lahan tempat transmigrasi itu ternyata masih bersengketa dengan penduduk lokal.

Setelah itu, mata pencarian warga adalah menjadi nelayan di Dam Bilibili. Namun, karena longsor yang terjadi 2004 lalu warga terpaksa berhenti menjadi nelayan dengan alasan kekeruhan dam bilibili yang membuat ikan menjadi mati. Saat ini, kebanyakan warga hanya menjadi buruh tambang galian C. Beberapa diantaranya, menjadi buruh bangunan di Makassar dan menjadi supir truk.

"Karena tidak ada pekerjaan lain, terpaksa warga melakukan pekerjaan itu," kata Said.

Lebih lanjut, Said mengatakan villa yang megah tersebut juga memancing keceburuan sosial terhadap penduduk lokal. Pasalnya, bangunan yang megah itu membuat susunan strata sosial di kawasan parangloe menjadi berubah.

"Efeknya juga ada pada tingkat strata sosial, terjadi kecemburuan sosial dan munculnya sekat-sekat antar warga," jelas Said.(***)

19 Februari, 2010

Kabut Senja di Puncak Maindo 2 - Selesai

Siang itu, udara dingin terus menusuk tulangku,.. ingin rasanya menghempaskan tubuh ceking ini ke alam lain. Hingga esok, ditemukan mayat berseliweran ditepi jalan

*****


“Ka, ayo lanjut e. Motor mu tidak ada lampunya,” kata Asdhar. Suara itu langsung membangunkan ku dari peristirahatan. Dari situ, kucoba mengumpulkan jiwa jiwa yang masih tertinggal di alam peristirahatanku tadi. Berat rasanya meninggalkan hangatnya tempat pembaringanku saat itu. Dengan mata yang mengantuk , kurapatkan jaket; pelindung hawa dingin.

Kupaksakan membangunkan tubuhku. Lalu menuju motor yang ku parkir tadi. Kulanjutkan perjalanan bersama dengan rombongan lainnya. Tapi entah kenapa, saat itu saya tidak menghiraukan motor anggota rombongan yang tidak bisa mendaki. Langsung saja ku tinggalkan rombongan itu satu persatu.

Satu, dua, tiga jam, saya semakin jauh dari rombongan. Senja mulai berganti menjadi malam hari. Motor traill itu pun semakin aku pacu sekencang mungkin. Sendirian. Menjelang magrib, tiba-tiba, motor yang saya kendarai menghantam kayu besar yang ada di jalan. Aku pun terjatuh dan tertindis motor. Dengan sisa tenagaku , ku coba mengangkat motor itu sendirian. Anehnya, mesin motor ku sudah tidak mau hidup lagi. Sementara saya tidak mempunyai peralatan untuk memperbaikinya.

Lambat laun mentari mulai bersembunyi dibalik malam ,dan gelap datang seiring perubahan alam ini . Dengan teratur dan sangat teratur , alampun berganti menjadi gelap , jangkrik jangkrik malam mulai berdendang, diiringi gemericik air sungai, melagukan irama alam. Keheningan merambah kepenjuru tempat, dan gelap mulai menunjukkan keperkasaannya.

Saya terbuai akan alam malam saat itu, bintang gemintang berkilauan. Jauh di ufuk langit. Terang berkelip ,menyebar ke seluruh penjuru langit . Tiada awan saat itu . . Hanya bintang dan gelapnya malam. “Indah,” kata ku dalam hati.

Sementara, sampai saat itu aku tidak bisa berbuat apa-apa dengan motor itu. Saya hanya bisa berharap ada seseorang yang datang membantuku. Sejenak, ku tersadar betapa egoisnya diriku; seorang anak manusia yang tega meninggalkan anak manusia lainnya yang juga dalam kesusahan.

Kilauan cahaya dari kejauhan datang membangunkan kesadaranku. Semakin perlahan, cahaya itu semakin dekat. Ku pikir itu adalah cahaya lampu motor. Ternyata sangkaan ku itu benar. Cahaya lampu itu adalah berasal dari lampu motor milik Asdhar dan rombongan yang lainnya. Mereka pun membantu saya dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Maindo.

Entah berapa kali saya terjatuh dari motor dalam perjalanan malam hari itu. Yang jelasnya, selalu ada saja teman yang menolongku saat terjatuh. Rombonganku akhirnya tiba di desa Maindo sekira pukul 02.00 dini hari. Tercatat sebanyak 11 jam perjalanan yang kami lalui untuk melintasi jalan sepanjang 35 kilometer itu.

Di Maindo, kami disambut dengan alunan musik khas kecamatan Bastem. Ratusan motor sudah terparkir dilapangan. Saya pun langsung membaringkan tubuh ditenda yang disediakan khusus untuk menyambut kami.

Dalam pembaringan itu, saya terpana pada eksotisme malam yang menghipnotis alam bawah sadarku. Melintasi samudera fikiran yang luas tanpa batas. Terekam dalam satu memory dari sekian juta untaian kenangan. Alam,… Memberiku banyak inspirasi yang selalu datang menggoda tuk kembali bercumbu . Memberi sekeping semangat dalam menjalani hidup . Mengingat kebesaran Tuhan yang maha perkasa . Malampun semakin larut . . Kami bergegas . . . Menuju pembaringan dalam hangatnya selimut. .

Sengau suara angin malam menemani pembaringanku saat itu. Mata terlelap berurutan menuntun mimpi yang hendak hadir menghiasi tidurku. Pikiranku menerawang, memilah semua kejadian hebat selama bertugas menjadi wartawan di wilayah Luwu Raya. Mulai dari aksi sejumlah karyawan PT Inco yang enggan di PHK, Aksi perang kelompok di kelurahan Mancani, kota Palopo yang tak kunjung usai dari tahun ketahun, longsor di kelurahan battang barat yang menyebabkan jalan poros palopo-toraja terputus, hingga perebutan kekuasaan di dua kabupaten di Luwu Raya. Semuanya terekam jelas dalam pembaringanku saat itu.

Sejenak ku berfikir; sungguh sangat hiruk dan pikuk di kota sana. Selalu saja ada masalah yang harus diselesaikan. Ingin rasanya untuk tetap di tempat ini. Merasakan ketenangan dengan alam yang sangat tenang. Sayang, ternyata hidup adalah masalah. Masalah yang harus dilalui sebagai tantangan. Bukan beban hidup.

Dalam sadarku, kupejamkan mata dan berusaha menyimpan semua lembaran kisah di kepala ku. Karena esok, akan menjadi kehidupan baru lagi saat semuanya melakukan pergeseran. Saya yakin, sebuah tugas baru akan menantiku di tempat lain.