24 Oktober, 2008

Setiap Membakar Dapat Honor Rp 25 Ribu

NAMANYA Damang, penjaga kunci Krematorium di Pekuburan China, Pannara, Antang. Pekerjaan rutin adalah membersihkan ruang pembakaran mayat.


Laporan
Eka Nugraha
Makassar

MERAH. Itulah warna yang mendominasi pekuburan China, di Pannara, Antang. Deratan kuburan yang terbuat dari tembok raksasa berjejer rapi. Beberapa kuburan menggunakan atap warna merah dengan patung dan simbol-simbol Tionghoa berwarna emas. Di tengah pekuburan ada jalanan sedikit beraspal. Beberapa pembersih kuburan sedang beraktivitas.
Sekitar seratus meter menyusuri jalan berbatu, terlihat sebuah gudang. Di bagian atapnya terdapat corong raksasa. Gudang tersebut tampak tua dengan warna cat yang mulai pudar. warna atap gudang pun sudah berwarna abu-abu. Bagian depan gudang itu tertulis "Krematorium Yayasan Sosial Budi Luhur".
Saat itu, sekitar pukul 08.30, pintu gudang terbuka. Seorang pria tua menyapu lantai gudang. Tubuhnya sedikit membungkuk dengan rambut yang mulai memutih. Saya masuk ke gudang dan menyapa pria itu. Dia mengajak mengobrol di teras gudang. Ada sebuah meja panjang dan kursi kayu di teras itu.
Namanya Damang. Dia mengaku sudah lima tahun bekerja sebagai juru kunci krematorium atau tempat pembakaran mayat. Meski terdengar agak seram, Damang mengaku senang bekerja di tempat itu. "Biar mamoka bisa ma juga bantu orang membersihkan," ungkap Damang, Kamis, 23 Oktober.
Saat ada mayat yang akan dibakar, tugas Damang adalah membuka krematorium. Sekali pembakaran mayat, dia mendapat upah Rp 25 ribu. Sedangkan untuk pembersihan gudang, Damang diupah Yayasan Sosial Budi Luhur sebesar Rp 400 ribu per bulan. Bagi Damang, gaji sebesar itu sudah cukup.
Di dalam krematorium tampak dua mobil ambulans, dua kamar kecil, sebuah kantor jaga, ada dupa, dan juga tempat pembakaran mayat.
Proses pembakaran mayat dilakukan pada siang hari. Bahan bakarnya adalah solar. Api diinjeksikan ke dalam sebuah ruangan berukuran 10 meter persegi melalui sebuah mesin. Setelah terbakar mayat yang telah berada dalam peti dimasukkan ke ruangan itu dan ditutup dengan pintu khusus.
"Kalau jadimi apinya, dimasukkanmi mayat ka dalam sini (ruang pembakaran), baru ditunggu selama tiga jam. Besok paginya pi lagi baru diambil," jelas Damang.
Setelah beberapa saat bercerita, Damang bergegas melanjutkan pekerjaannya membersihkan kuburan di belakang gudang. Sambil pamit, Damang mengambil beberapa alat kerja. "Kerja ka dulu, Dek. Sudah siangmi ini, nanti panaski," kata Damang seraya mengunci pintu krematorium. (ekanugraha68@yahoo.co.id)

15 Oktober, 2008

*Guru-guru Sukarela dari Negeri Asing
Perempuan Itu Bernama Laura Syekes

DI tepi kanal Barabaraya, sekelompok anak asyik belajar. Gurunya ada juga perempuan bule.
Laporan
Eka Nugraha
Makassar

SEBUAH meja dan enam kursi yang dua di antaranya adalah plastik. Hanya benda-benda ini yang ada ruangan itu. Pemilik ruangan bernama Baharuddin Abidin. Dialah inisiator panti belajar untuk anak-anak usia sekolah di tepi kanal, di Barabaraya.
Inspirasi membuat sekolah ini muncul pada 1989 ketika Baharuddin baru saja pulang sekolah dari Jerman. Saat itu, kawasan tempat panti belajar berlokasi belum ada kanal. Masih terisolasi dari dunia luar. Tak ada akses masuk ke wilayah itu.
Setelah kanal terbangun, barulah ada setapak yang terbentuk di sisi kiri dan kanan saluran air. Baharuddin pun mulai "bermain" di wilayah kanal. Alangkah terkejutnya dia. Fakta yang ditemukan, banyak anak pinggir kanal tidak punya pendidikan. Ekonomi orangtua mereka memprihatinkan.
Hati Baharuddin dan sesamanya dosen di Universitas Hasanuddin (Unhas) tergerak. Ide membentuk pelayanan pendidikan darurat pun terbetik.
Baharuddin menceritakan, awalnya dia dan kawan-kawannya hanya mengontrak rumah milik almarhum Abdullah Baasir yang ketika itu juga dosen di Unhas. Dana pendidikan darurat hanya mengandalkan donatur dari beberapa dosen.
Rumah kontrakan yang kelak jadi panti belajar pun sangat sederhana. Meski berlantai dunia namun sebagian besarnya dindingnya terbuat dari papan. Ruang belajar di lantai dua. Hanya satu ruangan. Lantai satu dimanfaatkan sebagai perpustakaan.
"Saat itu hanya empat mata pelajaran, yaitu membaca, menulis, berhitung, dan pendidikan moral," beber Baharuddin, Selasa, 14 Oktober.
Ketika saya berkunjung ke panti belajar ini, suasana sementara gerah. Para murid dan guru pun berkeringat. Mereka terpaksa meninggalkan lantai dua dan belajar di perpustakaan.
Cukup banyak buku bacaan di perpustakaan. Sebagian besar donasi dari Rotary Club, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang sosial.

***
Tiba-tiba ada ketukan di pintu masuk ruang kerja Baharuddin. Dari balik daun pintu menyembul muka seorang perempuan. Bule. Kurus. Jangkung. Rambut pirang, terikat satu. Matanya abu-abu.
"Silakan Laura," kata Baharuddin kepada perempuan itu.
Baharuddin kemudian memperkenalkan perempuan itu. Namanya Laura Syekes. Dia salah seorang volunteer atau relawan dari Melbourne, Australia. Sudah sebulan Laura menetap di Makassar. Awalnya dia hanya mau belajar tentang Bahasa Indonesia sehingga tiba di Kota Daeng. Namun oleh Baharuddin, Laura diajak mengajar di panti belajar. Untuk baktinya ini, Laura tak menerima bayaran. Namanya saja relawan.
Dia belum fasih berbahasa Indonesia. Malah kadang "terpeleset". Seperti ketika dia berucap, "Masyarakat Makassar ramai." Padahal yang Laura maksud adalah, "Masyarakat Makassar ramah."
Di mata Laura, anak-anak yang menimba ilmu di panti belajar itu punya semangat tinggi. Punya keingintahuan besar.
Anak-anak dan musik memang bukan hal asing bagi Laura. Sebelum ke Indonesia, Laura sempat mengabdikan diri di Olympic Orchestra, Tiongkok saat olimpiade musim panas lalu. Di Tiongkok, Laura berkeliling memberi semangat kepada penduduk lokal.
Kenapa memilih Makassar?
"Why not? Saya (selalu) mencari kesempatan untuk datang ke Indonesia. Saya tidak mau menjadi turis saja di Makassar," jawab Laura.

***
Sesaat berlalu, perbincangan saya dengan Laura dan Baharuddin kembali ke masalah panti belajar. Laura meringsut. Dia kembali beraktivitas sebagai guru.
Saya dan Baharuddin juga menyusuri pinggir kanal Barabaraya. Tak cukup sepelemparan batu dari ruang kerja Baharuddin tadi, sampailah kami di sebuah bangunan semi permanen. Di depannya terpancang sebuah papan bertuliskan "Perpustakaan Panti Belajar Warga Muslim Barayya". Di sinilah Laura mengajar.
Di ruang 70 meter persegi, Laura dan puluhan anak usia 7-14 tahun duduk rapi. Mereka tak mengenakan pakaian seragam layaknya murid sekolah formal. Kadang mereka berdiri. Terutama jika hendak meraih buku yang tersusun di rak.
"Kiri..." ucap Laura.
"Kiri," jawab para murid kompak.
"Kiri bahasa Inggrisnya left," timpal Laura.
Sungguh sebuah simbiosis mutualisme. Murid-murid itu dapat pelajaran Bahasa Inggris gratis. Laura juga begitu; belajar Bahasa Indonesia dari anak-anak pinggir kanal. Keringat mengucur dari tubuh setiap anak. Cuaca menyengat. Panas. Tak ada alat pendingin ruangan. Namun senyum tetap menyempul di bibir Laura. (ekanugraha68@yahoo.co.id)

08 Oktober, 2008

*Pascalebaran, Makassar Makin Dekat ke Patolopolis

PSK Kebagian Kartu Kontrol, Pengemis Membeludak

TAK cukup sepekan pascaidulfitri, pekerja seks komersial (PSK) dan pengemis bertambah. Makassar pun semakin merapat ke patolopolis; kota yang penduduknya dihinggapi penyakit mental.

Laporan
Eka Nugraha dan Rahim
Makassar

BERDASARKAN catatan resmi Dinas Sosial, tahun ini jumlah PSK memang bertambah dibanding tahun lalu. Penambahan sekira 80 orang. Itu yang terdata. Ditaksir, masih banyak PSK yang beroperasi ibarat kentut; tak terlihat tapi terasa dan tercium.
    

Sejatinya, tak ada upaya apapun yang dilakukan dinas ini untuk melindungi warga kota dari serangan patolopolis. Untuk menghadapi serangan PSK misalnya, Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan Makassar malah merancang kartu kontrol sosial. Kondisi ini semakin mempertegas, pemerintah kota sebenarnya melegitimasi aktivitas maksiat birahi.


Rencana Dinas Sosial untuk membuat kartu kontrol terhadap PSK sendiri mendapat tanggapan positif dari Dinas Kesehatan Sulsel.Namun Kepala Bagian Humas Dinas Kesehatan Sulsel, Basri Anas, berharap pemkot tak asal sebut. Tetapi pemkot berani menunjukkan lokasi para PSK. Selain itu, mengenai sulitnya mendapatkan PSK yang keberadaannya diduga berlindung di bawah izin pramuniaga, lagilagi pemkot diminta tegas. "Kalau memang ada PSK di THM (tempat hiburan malam, Red) seharusnya THM tersebut diberikan sanksi tegas," kata Basri, di ruang kerjanya, kemarin.


Basri juga mengatakan, selama ini Dinas kesehatan telah melakukan penaggulangan terhadap penyakit menular seksual dengan di bentuknya tim Pemberantasan Penyakit Menular (P2L). Namun tim ini sulit mendapatkan titik-titik lokalisasi PSK.


Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Makassar, Andi Nasyiah T Azikin, mengatakan, program kartu kontrol PSK sangat bagus. Alasan dia, nantinya penanggulangan penyakit menular seksual dapat terkoodinasi dengan baik. Namun Dinas Kesehatan enggan menyebutkan istilah PSK pada kartu kontrol tersebut. "Kami tidak akan mengatakan mereka PSK, mereka membutuhkan perhatian dan pemeriksaan," ujar Nasyiah.


Lebih jauh Nasyiah menjelaskan, rencana pembuatan kartu kontrol akan dilakukan terpadu dengan dinas terkait. Setelah itu, Dinas Kesehatan melakukan sosialisasi dan pemeriksaan berkala terhadap pemegang kartu.


Selain PSK, masalah lain yang mengancam Makassar adalah serangan pengemis. Pascalebaran, pengemis di Makassar ditaksir bertambah 300 orang. Rinciannya, sebelum Ramadan hanya 648 pengemis, namun setelah lebaran bertambah menjadi sekitar 1.000 orang. Hal ini diakui Kepala Dinas Sosial Ibrahim Saleh.


Ibrahim mengkalim, para Pengemis itu berdatangan dari Gowa, Takalar, dan Jeneponto. Para pengemis itu rata-rata beroperasi di emperan pertokoan dan kompleks perumahan. (*)