26 Maret, 2010

Mak Cappong, Maestro Tari Pakarena dari Gowa

Melanglang Dunia untuk Budaya Bangsa


Tubuhnya tampak kurus, di usia nya yang lebih dari setengah abad. Keriput kulitnya ikut menghiasai wajahnya yang berkacamata. Gerak tangannya pun gemulai.Dialah Mak Coppong Daeng Rannu, seorang maestro tari pakarena asal kabupaten Gowa.


Eka Nugraha

Kampili, Gowa



Disebut-sebut, perempuan inilah yang mampu menarikan Pakarena dengan utuh, lengkap dengan kesakralannya sebagai sebuah tarian yang penuh dengan symbol kehidupan masyarakat Gowa.

Saat penulis berkunjung ke rumahnya di desa Kampili, Jumat 19 Maret kemarin, perempuan tua ini tampak duduk di atas balai bambu di bawah kolong rumahnya yang berbentuk panggung. Seperti rumah warga desa Kampili lainnya, rumah Mak Coppong juga terbilang sangat sederhana. Bahkan, beberapa dinding rumahnya terlihat sudah lapuk.

Mak Coppng adalah anak tunggal dari pasangan Daeng Baco dan Ba Iyo, masa kecilnya dihabiskan di desa Kampili, Kecamatan Palangga, kabupaten Gowa. Konon kabarnya, desa ini juga pernah menjadi pusat militer Belanda saat menduduki Indonesia.

Di usia 10 tahun, Mak Coppong sudah mulai belajar tari Pakarena. Tarian ini adalah tarian khas Makassar kuno yang dulu kerap dipersembahkan di Istana kejaraan Gowa dalam acara resmi. Tarian ini memang hanya bisa di ajarkan kepada anak yang berusia 10 tahun. Pasalnya, jika sudah diatas 10 tahun anak perempuan sudah tidak bisa lagi belajar gerakan tari itu dengan alas an gemulai gerakannya akan berbeda.

Sallo-sallo mi anjo, (Bahasa Makassar yang artinya; sudah lama sekali mi itu)” kata Mak Coppong, saat penulis menanyakan sejak kapan dia menggeluti tari Pakkarena tersebut.

Tidak heran memang, jika penari di tuntut untuk gemulai dalam tarian Pakarena. Tarian ini, memang selalu identik dengan deru gendang yang mengentak bergemuruh. Jika pakarena mencerminkan kelembutan, gandrang pakarena menggambarkan keperkasaan pria Makassar.

Didampingi Sekdes Kampili, Ridwan dan anak kedua Mak Cappo, Ibrahim Daeng Nutung, perempuan tua ini tampak semangat menceritakan kisahnya selama menjadi penari pakarena. Mak Cappo tidak bisa berbahasa Indonesia, ceritanya pun terpaksa di terjemahkan oleh Ridwan atau Ibrahim.

Mak Coppo mengaku, tarian pakarena yang dilakoninya sempat di hentikan oleh anggota pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) atau yang lebih di kenal dengan sebutan “gerombolan”. Saat itu, tari Pakarena dihentikan dengan alasan tarian itu dianggap sebagai tari penyembah berhala oleh gerombolan.

“Kita dilarang waktu itu untuk melakukan atau mengajarkan tarian,” jelas Mak Coppong dengan bahasa daerah Makassar.

Namun, sekira 1973, tarian itu kembali bisa dilakonkan. Bersama dengan sejumlah sanggar seni yang ada di Sulsel, tarian ini pun kembali dimunculkan sebagai asset budaya Bangsa.

Di tahun 2004 tarian ini semakin terkenal. Selama tiga bulan mak Coppong keluar negeri memenuhi undangan untuk melakonkan tarian itu. Dia melanglang buana dari Singapura menuju negara-negara Eropa, Amerika Serikat hingga Australia untuk menjadi penari dalam pementasan I La Galigo yang disutradarai Robert Wilson. Akhir tahun 2006 lalu, dia tampil pada Festival Budaya di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Terakhir, Mak Cappong melakonkan Tariannya di Taipei, Cina pertengahan 2008 lalu.

Sampai sekarang, ia tetap bersemangat menarikan tarian Pakarena melalui gemulai gerakannya. Namun, beberapa tahun belakangan ini, Mak Coppong tidak lagi tampil sebagai penari.Kondisi fisiknya yang sudah tua tidak mungkin lagi untuk melakonkan tarian itu.

Namun, semangatnya untuk mempopolerkan tarian Pakarena tetap ada. Baginya menari adalah panggilan jiwa dan bertekad menekuni terus tarian itu agar seni tradisi suku Makassar tak lenyap tergerus budaya populer. Mungkin ini juga yang membuat dirinya tetap bersemangat menjalani sisa hidup, sembari menularkan ilmu tari pada sedikit orang muda yang tertarik pada seni tradisi.(***)

25 Maret, 2010

Melirik Bukit Maggarupi, Bukit kota di Sungguminasa

Dianggap Keramat, Nyaris Diledakkan dengan Bom

Bagi warga kabupaten Gowa tentu mengenal kawasan Bukit Manggurupi. Kawasan bukit yang berada di wilayah Kelurahan Paccinongan, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa ini, ternyata adalah satu-satunya bukit yang ada dalam kota Sungguminasa.


EKA NUGRAHA
Somba Opu

Beberapa siswa tampak bersantai di puncak bukit Manggurupi. Sementara, di arah lain, Beberapa siswa lainnya tampak sedang berteduh dibawah pohon sambil melihat pemandangan Sungguminasa dari ketinggian.

Kira-kira seperti itulah pemandangan bukit Manggurupi, Jumat 5 Maret kemarin. Bukit yang kelihatan tandus dengan struktur lahan yang mayoritas bebatuan itu memang selalu menjadi alternatif wisata di kabupaten Gowa. Selain karena dekat, pemandangan di bukit ini juga menggoda perhatian warga.

Bukan hanya pemandangan yang menarik dari bukit ini. Warga kelurahan Paccinongan juga menganggap bukit ini adalah situs kerajaan Gowa. Sejumah mitos lahir dari bukit ini. Pasalnya, bukit ini di huni oleh makhluk halus.

Sebuah perusahaan bernama PT Nusa Sembada Bangunindo bahkan disebut akan meledakkan bukit ini dengan bom. Rencananya, perusahaan besar ini akan membangun perumahan di atas bukit tersebut. Peledakan bom itu dilakukan untuk meratakan lahan bukit yang berstruktur bebatuan itu. Kemudian membangun perumahan di atas kawasan tersebut.

“Pernah mau diledakkan, tapi warga melarang karena akan merusak situs,” jelas sekretaris Lurah Maccinongan, Ikbal, Jumat 5 Maret kemarin.

Ikbal mengatakan, pada 1999 lalu, sebuah perusahaan Tambang juga pernah melakukan eksplorasi di tempat itu. Saat itu, sebuah keanehan terjadi. Mobil dump truk yang mengangkut batu dari bukit itu tidak bisa menurunkan muatannya meski truk itu sudah memiringkan bak penampungannya.

“Nanti dikembalikan ke areal bukit, baru muatannya bisa turun dari mobil itu,” jelasnya.

Beberapa bulan kemudian, dua pimpinan proyek ekplorasi tersebut meninggal dunia. Ikbal mengaku tidak mengetahui persis penyebab meninggalnya kedua pimpinan proyek itu.

“Saya tidak tahu persis kenapa mereka meninggal dalam waktu yang bersamaan, tapi ada informasi, katanya keduanya meninggal dalam keadaan bisu,” jelasnya.

Tidak hanya itu, sejumlah warga sekitar juga kerap melihat sosok seorang wanita berbaju merah melintas di sekitar bukit itu. Ada juga yang mengaku mendengar suara tangisan saat malam hari.

Ikbal juga membenarkan jika warga mempercayai jika bukit itu adaah kaki gunung Bawakaraeng. Oeh karena itu, warga melarang keras merusak apalagi meledakkan bukit dengan ketinggian sekira enam meter diatas pemukaan laut tersebut.

“Kita khawatir, jangan sampai alau diledakkan akan membawa dampak negatif terhadap kabupaten Gowa,” jelasnya.(***)

20 Maret, 2010

Melirik Aset Pejabat dan Pengusaha di Kawasan Parangloe

Ada Villa Pejabat dan Peternakan dari Luar Negeri

Sejak 1999, kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa resmi memiliki sumber air "raksasa" yang diberi nama Dam Bilibili. Sejak saat itu pula, beberapa pejabat dan pengusaha mulai menginvestasikan sejumlah lahan ditempat itu.



Eka Nugraha- Amiruddin
Parangloe,
Harian Fajar Edisi Januari

Kawasan Parangloe, Kabupaten Gowa mendadak berubah menjadi lahan yang mahal sejak dibangunnya Dam bilibili. Sejumlah pejabat dan pengusaha mulai menanamkan aset diwilayah itu. Bukan hanya dari wilayah Sulsel. Beberapa pengusaha dari negeri lain juga ikut menanamkan aset di tempat itu.Aset mereka itu beragam. Mulai dari peternakan sampai membangun villa di lahan tersebut.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari kantor kecamatan, sedikitnya terdapat enam pejabat dan pengusaha yang menanamkan asetnya diwilayah tersebut. Keenam pejabat dan pengusaha tersebut masing-masing adalah Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri) Komisaris Jendral Polisi (Komjen Pol) Yusuf Manggabarani, Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, Mantan wali kota Makassar, Baso Amiruddin Maula, Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo, dan Pengusaha asal Belanda, John Panre, dosen Unhas, Basri Palu. Tidak main-main, luas lahan yang mereka "kuasai" antara satu sampai 10 hektar. Semua pejabat dan pengusaha tersebut menanamkan asetnya dalam bentuk pembangunan Villa di bagian bukit disekitar kawasan Parangloe.

Selain itu, informasi dari kantor kecamatan setempat menyebutkan ada juga pengusaha asal China yang menanamkan asetnya dalam bentuk lokasi penggemukan hewan ternak. Sedikitnya 300 ekor sapi dapat ditampung diwilayah ternak tersebut.

Sekretaris Camat Parangloe, Tajuddin Dolo yang ditemui diruang kerjanya, Rabu 13 Januari membenarkan adanya informasi tersebut. Dia mengatakan, pembangunan villa tersebut sebenarnya telah dimulai sejak kawasan Dam Bilibili terbentuk. Pasalnya, saat itu, wilayah Dam bilibili adalah salah satu kawasan yang dianggap mewah saat itu.

Lalu berapa harga tanah waktu itu? Tajuddin mengatakan, waktu itu lahan disekitar parangloe terbilang mahal. Harganya antara Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu untuk satu meternya. Namun, belakangan, harga lahan disektar tempat itu kembali turun. Sekarang harganya hanya mencapai Rp 20 ribu permeternya.

"Saya tidak tahu, harganya sekarang menjadi turun. Mungkin karena pengaruh longsor tahun 2004 itu," jelas Tajuddin.

Tajuddin mengatakan, saat ini villa-villa tersebut hanya dijaga oleh beberapa orang warga sekitar. Mereka diberi upah oleh pemilik Villa. Upahnya beragam, antara Rp 700 ribu sampai Rp 1 juta. Sedangkan pemilik Villa, sesekali saja.

"Datangnya, paling banyak dua kali dalam satu bulan," jelas Tajuddin.

Usai dari ruang kerja Tajuddin, penulis mencoba mencari lokasi salah satu villa yang dimaksud. Salah satu lokasi villa yang terdekat adalah milik pengusaha asal Belanda, John Panre. Lokasinya berada di lokasi ketinggian kelurahan Bonto Parang, kecamatan Parangloe, kabupaten Gowa.

Medan yang mendaki dan licin --- apalagi saat itu sedang hujan --- membuat sulit untuk menjangkau lokasi tersebut. Setelah beberapa saat, sebuah bangunan berwarna putih ke cokelatan tampak berdiri megah ditangah-tengah kebun jagung. Pemandangan dam bilibili jelas terlihat di tempat itu. Ini lah villa yang dibangun oleh pengusaha asal Belanda, John Panre.

Sementara itu, ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Muhammad Said Saud menilai pembangunan villa tersebut adalah mubassir. Menurutnya, seharusnya lahan itu dikelola oleh penduduk sekitar yang mulai kehilangan mata pencarian.

"Sebaiknya dikembalikan lahannya untuk warga, karena warga saat ini mulai kehilangan mata pencarian," jelas Said.

Said mengatakan, dulu warga kebanyakan melakukan aktifitas tani di kawasan pegunungan Parangloe. Namun, setelah ada rencana pembangunan Dam Bilibili, sejumlah lahan warga mulai di bebaskan. Akibatnya, sebagian warga terpaksa di transmigrasikan di kabupaten Luwu. Setelah beberapa tahun kemudian, warga kemudian kembali ke kawasan Parangloe. Alasannya, lahan tempat transmigrasi itu ternyata masih bersengketa dengan penduduk lokal.

Setelah itu, mata pencarian warga adalah menjadi nelayan di Dam Bilibili. Namun, karena longsor yang terjadi 2004 lalu warga terpaksa berhenti menjadi nelayan dengan alasan kekeruhan dam bilibili yang membuat ikan menjadi mati. Saat ini, kebanyakan warga hanya menjadi buruh tambang galian C. Beberapa diantaranya, menjadi buruh bangunan di Makassar dan menjadi supir truk.

"Karena tidak ada pekerjaan lain, terpaksa warga melakukan pekerjaan itu," kata Said.

Lebih lanjut, Said mengatakan villa yang megah tersebut juga memancing keceburuan sosial terhadap penduduk lokal. Pasalnya, bangunan yang megah itu membuat susunan strata sosial di kawasan parangloe menjadi berubah.

"Efeknya juga ada pada tingkat strata sosial, terjadi kecemburuan sosial dan munculnya sekat-sekat antar warga," jelas Said.(***)