21 Mei, 2010

Selamat jalan Sang Maestro Sinrilik

Hikayat Terakhir Sang Maestro

“Terakhir, dia berpesan. Katanya, semua yang dilakukannya ini adalah untuk orang banyak. Bukan untuk dirinya,”

EKA NUGRAHA
Sungguminasa

Matanya sembab, hidungnya juga memerah. Sesekali, dia mengusap air matanya yang nyaris menetes itu dengan tissu. Wajahnya juga tampak berantakan. Bisa ditebak, semalaman dia tidak tertidur dengan nyenyak.

Dia menangis,…!!! Ya, dia menangis. Ini kali pertamanya saya melihat dia menangis. Tiga pekan sebelumnya, saya melihat dia dengan wajah cerianya. Saat itu, suaranya melantun merdu diiringi gesekan musik rebab kuno. Saya sendiri tidak menyangka, hari itu adalah hari terakhir saya mendengar musik rebab kuno tersebut.

Wajahnya seperti orang yang kerampokan. Kehilangan satu barang kesayangan, yang bersamanya telah merangkai banyak kenangan, sekaligus menyimpan harapan. Tapi ini bukan barang. Ini juga bukan juga miliknya, yang untuk mendapatkannya harus menukar dengan uang. Saat itu dia baru saja kehilangan gurunya, Sirajuddin Daeng Bantang seorang Maestro Sinrilik yang mengiringi suaranya dengan lantunan musik rebab kuno setiap kamis malam di studio Rewako FM.

Jumat 14 Mei lalu, Sirajuddin Daeng Bantang telah pergi. Sang Maestro itu telah pergi untuk selamanya dan tidak akan kembali. Saya tahu, tidak hanya perempuan itu yang menangis. Seluruh orang yang mengenalnya juga pasti menangis. Meski saya tahu pula, beberapa diantaranya berhasil memendam tangisannya dalam hati.

Sementara tangisan-tangisan itu terus mengalun, angin perlahan-lahan bagai susut. Segala suara bagai meredup dan mengendap dalam dalam awan yang mulai mendung. Semesta terkesima dan seketika terdiam. Lalu, membalasnya dengan ikut menagis.

Hari itu, alam seakan memperlihatkan kesedihannya. Sebutir tetesan air hujan yang bergulir mendadak tergantung beku di ujung daun. Angin pun bertiup kencang dan mencampakkan daun-daun kering. Ratusan juta tetesan air hujan lainnya pun juga ikut menderu muka bumi ini, mendinginkan hati setiap orang yang merasa kehilangan.

Desing suara sirine mobil ambulance merontokkan perasaan jemaah yang baru saja menggelar shalat Ghaib saat itu. Awalnya, suaranya sangat keras. Memekikkan telinga. Lalu, perlahan meredup dan menghilang. Begitu juga dengan mobilnya, melaju kencang mengantarkan sang Maestro ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Alampun tak mau kalah. Petir halilintar menyalak bagaikan seruling yang nyaring memekakkan telinga. Bunyi badai yang bergemuruh itu terasa memilukan hati. Dan hujanpun masih tercurah.

Saya sendiri hanya terpaku dalam diam, dingin begitu menusuk semua persendianku, gelombang besar bergulung-gulung dengan gemuruhnya yang menjadi ombak. Sekarang semuanya telah terjadi, saya tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa berlindung dari hantaman bulir-bulir hujan yang membasahi bumi. Tapi tidak dengan perempuan itu. Meski matanya masih sembab. Dia masih tampak tegar dan berjanji akan melanjutkan seni sinrilik dari sang Maestro.

“Iya. Tinggal saya yang bisa melantunkannya. Teman yang lainnya, hanya bisa memainkan rebab,”kata perempuan itu.

Nur Indah Aseani nama perempuan itu. Dia adalah murid terdekat Sang Maestro. Sekali lagi, kekaguman ku ada padanya. Tapi, kali ini bukan pada suaranya. Melainkan pada ketegaran hatinya menghadapi hantaman duka yang baru saja melandanya. Karena saya tahu, siapapun pasti tidak akan mau merelakan kepergian orang semacam Sirajuddin Daeng Bantang. Apalagi untuk seorang murid seperti Nur Indah.

Perempuan yang kerap disapa dengan Nur itu terus saja berharap dapat melestarikan warisan sang Maestro itu. Banyak hal yang masih menjadi pekerjaan rumah buatnya. Salah satunya adalah merampungkan naskah Sinrilik tentang kejayaan seorang tokoh pejuang fenomenal, Syekh Yusuf. Naskah itu disebut-sebut masih tertulis dalam bahasa Makassar kuno. Butuh ketelitian untuk menerjemaahkan maksud tulisan itu.

*****

Menjelang sore hari, badai mulai bersahabat. Angin mulai berhembus sepoi-sepoi. Bulir-bulir hujan tidak lagi turun dengan derasnya. Begitupun dengan desingan petir. Tidak ada lagi suara yang memekikkan telinga. Awan gelap pun mulai berubah menjadi senja. Sayangnya, matahari nyaris tidak terlihat di hari itu.

Hampir sama dengan kisah sang Maestro. Kisah itu, sekarang menjadi sebuah kisah klasik untuk dikenang. Tidak ada lagi gesekan rebab sang Maestro. Begitupun dengan rentetan dakwah dalam lantunan Sinriliknya. Semua tertanam dalam kenangan anak dan cucunya kelak.

Besok, lusa atau kapan pun itu, saya yakin anak cucu bangsa ini akan berkata; “Di Gowa, pernah lahir seorang pendakwah (daeng), seorang seniman sinrilik terkenal yang pernah membawa nama harum Bangsa ini ke penjuru dunia. Dia bernama; Sirajuddin Daeng Bantang,”

Di penghujung sore, saya dan beberapa rekan-rekan wartawan seperjuangan di kabupaten Gowa kembali melakukan aktivitas rutin kami. Seperti biasa; menekan tuts di keyboard menjadi susunan kalimat untuk sebuah naskah berita.

Disebuah Cafe, ditemani laptop dan semilir angin senja, jari-jari ku semakin lincah mengetikkan susunan kalimat itu. Maklum menjelang deadline. Satu, dua dan tiga jam berlalu, akhirnya saya dapat merampungkan naskah beritaku. Judulnya; Maestro Sinrilik Tutup Usia. Ku kemas naskah itu, lalu ku kirim ke redaksi. Dan selesai sudah tugas ku untuk hari itu. Tentu saja, saya berharap berita tentang kepergian Sirajuddin Daeng Bantang dapat tersebar luas keseluruh penjuru nusantara.

Senja mulai berganti malam. Cafe tempat kami mengetik berita semakin sejuk dengan hempasan angin disore itu. Cafe ini memang sangat indah. Bentuknya seperti rumah panggung, dengan kolam ikan di bagian bawahnya. Ada juga kolam renang disisi kanannya. Sejenak, kulayangkan pandangku ke arah langit. Menikmati indahnya senja dalam hidup ku ini.

Senja hari itu takkan pernah berakhir dalam hidupku, aku berdiri di sisi kanan cafe menatap kolam renang yang indah dengan mata berkaca – kaca, semilir angin semakin menyayat hatiku. Saya sendiri mencoba membaca sekali lagi goresan luka perasaan Nur Indah yang baru saja tertimpa duka itu.

“Tuhaaaaaan…sungguh terasa sakit, sakit sekali jika ditinggal seseorang yang kita cintai. Mungkin ini teguranmu untuk aku yang selalu melupakanMu”,bisikku, lirih..

Aku menghela nafas panjang lalu kuhirup udara perlahan. Sungguh sejuk sekali angin senja itu. Meski dada masih terasa berguncang hebat mengingat semua kepedihan yang baru saja terlewati.

Sekarang, Sang Maestro sedang terdiam dan kaku di alam peristirahatannya. Menikmati indahnya “alam kedua” bersama-Nya. Dalam diamnya, dalam tenangnya, saya yakin dia akan tersenyum bangga melihat perjuangan Nur Indah yang berusaha melestarikan warisannya. Dan semoga, masih banyak Nur Indah lainnya yang ingin ikut dalam perjuangan itu. Sebuah perjuangan untuk mengingatkan penghuni jagad raya akan filosofi hidup seorang anak manusia.

Selamat Tinggal Sirajuddin Daeng Bantang....
Terimakasih atas semua kebaikan yang telah kamu lakukan diatas muka bumi ini,..

Hormat ku:
Eka Nugraha.(eka)

12 Mei, 2010

When Silence Speaks


One day, he will speak, .. He will reveal what actually occurred, ... Although all of them limited,...


EKA NUGRAHA
Bukit Manggarupi

Bapak..Mama ..kalian tau gak! Sekarang aku bagaimana?, dan ada di mana? Dalam kembara rantauku, jauuuh sekali. Mengelanai ruang-ruang hampa. Akhirnya aku sampai di suatu tempat yang tak bernama. Tempat ini sunyi, pengap, pekat, sesak, berdinding kristal yang buntu, tak bercelah, tak berjendela. Lama sekali Aku disini sendirian. sepi..Bapak..aku takut.! Kian hari kian mencekam Mama..!

Kesepian itu sudah mengkristal dalam hati ku. Dia mulai memadat, nyaris tanpa celah, tanpa rongga atau sekedar pori-pori. Tidak ada satu titik pun celah untuk membuat perasaan ini menjadi ramai. Bahkan, dinding-dinding kristal itu terus saja meluas. Luas tanpa batas, pipih tanpa tepi. Sekeras apapun dentuman suara kota, aku tetap saja dalam kesepian. Sepi, mesti dalam keramaian.

Bapak, Mama, saat membuat tulisan ini, anakmu semakin kurus, dan hanya memiliki sedikit uang. Tidak banyak yang bisa diperbuat oleh anakmu ini. Semakin berbuat dan berkata, semakin sepi pula perasaan ini.
“Idealisme itu, seperti gogos yang berisi empedu. Rasanya pahit,” seperti itu kata seorang seniorku semasa di kampus dulu.

Kalimat itu seperti ada benarnya. Seolah meninjeksikan pahaman aneh dalam pikiranku. Kadang, jiwa yang kurus ini berfikir, untuk apa melakukan semua ini?. Saat berbuat untuk orang banyak, bukan kawan yang terus bertambah. Tapi, lawan yang terus beranak pianak.

Bapak,.. Mama,... Netralitas sudah tidak ada lagi di tempat ku ini. Padahal, kita semua tahu, hanya netralitas yang selalu menjadi batasan setiap manusia. Namun, saya tetap berusaha sekuat tenaga untuk netral karena kalian lah yang telah mengajarkan semua ini. Kalian pernah berkata, manusia harus hidup diantara hitam dan putih.

Wahai Bapak ku tersayang dan Mamaku tercinta, dalam pengembaraan ku ini aku menemukan suatu pelajaran yang sangat berarti. Ternyata, idiot itu bukanlah kebiasaan. Justru kebiasaanlah yang menjadikan manusia menjadi orang yang idiot. Kebiasaan, juga tidak akan menjadi kebiasaan, jika tidak ada seorang pun yang memaksakan kebiasaannya.

Tidak Bapak,..!! Tidakkk Mama,... Saya bukanlah orang munafik. Saya tidak akan mengikuti kebiasaan orang-orang itu. Saat ini, ribuan orang memercayai saya. Setiap hari mereka membaca rentetan tulisan saya. Adalah sebuah kemunafikan jika saya mengkhianati kepercayaan mereka semua. Saya janji, meski tidak bisa berbuat apa-apa, saya akan tetap bertahan pada idealisme yang kalian ajarkan.

Bapak, Mama, kemarin siang, di tengah raung mesin kendaraan bermotor dan hiruk pikurnya pikiran ini, ponsel tuaku bergetar. Sebuah nomor asing berkedip-kedip gelisah. Aku kaget, menerima pesan singkat dari seseorang yang terkasih. Dialah orang yang mebuat hidup ini bercahaya, tapi dia juga telah membuat kesunyian ini menjadi kristal. Mejnadi Kristal dan terus membatu setelah kepergiannya

Setelah dia pergi, sungguh hari menjadi berjalan lambat kurasa. Harapan tuk terus bersama pupus sudah. Dia pergi dengan kesepian pula, tak pernah ku antar Dia. Tak pernah ku lepas dengan lambaian tangan. Saya hanya menyampaikan kata;”Persetan dengan adat mu,”. Mengingat peristiwa itu memang perih rasanya. Tapi itulah yang terjadi. Di perpisahan antara saya dan dia, beberapa waktu silam.

Kubalas pesan singkat itu dengan menelponnya kembali. Kukerjakan hal itu untuk mencoba mencekal ras rindu yang terus memberontak ini. Dibalik speaker telepon genggamku, dia bercerita banyak. Tentang kehidupan barunya yang penuh warna, penuh gairah dan sangat ramai. Saat itu, ku pastikan dia tidak se sepi diriku ini.
Akhhh,... Aku baru sadar, dia sekarang tidak perduli lagi dengan saya. Ku kemas rindu ini, lalu ku kubur bayangan dirinya dalam hatiku. Hingga akhirnya, kesepian melandaku, hingga saat ini. Apa boleh buat, ku putuskan hubungan telepon itu, lalu menginggalkan semua kenangan.

Bapak,... Mama,... Saat itu,... kutimang ponsel dengan gamang. Kenangan kampung halaman begitu menyentak. Antara iya dan tidak, sebenarnya aku sudah diperkenankan untuk pulang menjenguk kalian. Aku akan pulang,... !!! ya, aku akan pulang. Hingga saatnya tiba aku akan benar-benar PULANG.

Bapak,.. Mama,... Dalam kesepian ini, tidak banyak yang bisa saya perbuat. Saat membuat tulisan ini, saya berkata, Kesepian ku akhirnya berbicara. Meski hanya lewat tulisan dan berharap semua orang mengetahui saya. Agar semua orang sadar, jika hidup bukan hanya untuk uang.

Bapak,.... Mama,... Ada ku mamacu waktu, menuju mu,................

*) Di kloning dari berbagai sumber,....