23 April, 2010
Suatu malam bersama Maestro Sinrili'
Gema Sinrili’ di Alam Cintanya
“Banyak cara untuk memanifestasikan rasa Cinta. Bisa dengan suara melankolik, suara lantang menggema, bisa juga dengan tulisan,”
EKA NUGRAHA
Sungguminasa
Suaranya merdu. Nadanya sebentar tinggi melengking. Sebentar lagi lemah dan merendah, lalu kemudian mendayu. Dinamisasi lagu sangat disesuaikan dengan irama cerita yang dia nyanyikan. Adakalanya di lambatkan, kadang kala pula di cepatkan. Dia melantunkannya dalam bahasa Makassar tradisional, sesekali juga dengan bahasa Indonesia.
Diruang siaran radio lokal Rewako FM, Kamis, 22 April malam, dia berduet dengan sang Maestro Sinrili, Sirajuddin Daeng Bantang. Berbaju batik warna biru, celana jeans dan kudung seadanya, malam itu dia tampak sederhana. Seperti perempuan pada umumnya, sekilas tidak ada yang lebih dari dirinya. Namun, hal itu menjadi terbalik saat dia mulai melantunkan syair sinrili. Suaranya sungguh sangat merdu.
Nur Indah nama perempuan itu. Suaranya menggema di ruangan di sekitar 20 meter persegi. Lantuan prosa sinrili’ dia bawakannya dengan sempurna. Apalagi, malam itu, Sang maestro Sinrili’ mengiringi tuturan suaranya dengan musik keso-keso (rebab). Bak simponi, suaranya sungguh tersangat indah.
Seumur hidup, inilah kali pertama saya mendengarkan lantunan sinrili’. Malam itu, Indah melantunkan Sinrili’ dengan menggunakan bahasa Makassar. Suaranya lantang dan melengking. Namun tetap saja terdengar sopan. Sayang, saya tidak tahu apa artinya,
Sesekali, nama ku sempat disebut dalam lantunan prosa sinrili’ itu. Beberapa orang didalam ruangan itu kemudian tertawa. Tapi tetap saja, saya tidak tahu artinya. Saya hanya bisa membalasnya dengan ikut tertawa juga supaya tidak terlalu kelihatan bodoh.
Setelah mencari tahu tentang Sinrili’ melalui internet, saya pun sedikit memahaminya. Sinrilii’ adalah sebuah cerita yang tersusun secara puisi atau prosa lirik. Diceritakan dengan cara bernyanyi oleh seorang ahli dengan iringan sebuah alat yang digesek, yang disebut “keso-keso” (rebab). (http://makassarterkini.ning.com).
Sinrili’ sebenarnya adalah lantunan kisah dan hikayat hidup yang diceritakan dalam bentuk nyanyian. Bahkan, sesekali, lantunan itu berisikan nilai kritik terhadap pejabat dan orang-orang yang mendengarkannya. Terlintas dipikiranku, fungsi sinrili’ sebenarnya sama dengan profesi ku sebagai wartawan. Keduanya sama-sama sebagai kontrol sosial (Social of Control).
Dalam Sinrili’ terdapat unsur-unsur yang bernilai keluhuran dan keindahan yang tinggi. Kekuatan Sinrili’ tidak tercapai dengan keindahannya semata, namun muatan nilai-nilai luhurnya yang sarat petuah dan pelajaran berharga. Dengan irama yang mengalun dan dengan kata-kata yang indah saja, Sinrili’ belumlah dapat dianggap sebagai satu alat untuk mencapai nilai keluhuran dan keindahan, apabila isinya kosong.
Ini bermakna filosofi tersendiri, bahwa seseorang yang apabila hanya mengejar ‘keindahan’ lahir saja tanpa memperhatikan ‘keluhuran’ bathin, maka keseimbangan (harmoni) hidup akan berkembang tak selaras.
Sungguh, sebuah tugas yang sangat mulia. Sebuah cinta di alam bangsanya, membuat pekerjaan itu menjadi hal yang indah. Meski suara itu tidak se tenar artis ternama lainnya. Demi seni dan budaya; teruskan melantangkan suara mu, buat lengkingannya menjadi benteng peradaban bangsa. Selamanya.(***)
08 April, 2010
Kisah Klasik Kampus
Orang-orang itu Berada di Lorong Gelap
“Berjayalah kalimat-kalimat yang kutulis. Sebab mereka mendapat teman dan musuh yang menghormati,” (Kudedikasikan Buat, Angsu:"Selamat Ulang Tahun")
Oleh :
Eka Nugraha
Kota yang ramai, saling sibuk dan bergerak maju. Mungkin seperti itulah rasanya saat melintasi wilayah perbatasan antara kabupaten Gowa dan kota Makassar saat sore hari. Deru kendaraan, suara bising, macet, asap knalpot, dan debu yang beterbangan, selalu saja menjadi sajian pemandangan sore di tempat itu. Diantara deru masalah-masalah itu, terus saja ku percepat laju motor ku. Maklum, saya sedang ada janji dengan adik-adik juniorku di bekas kampus ku dulu.
Saat tiba di kampus itu, kenangan ku mulai tersibak. Seperti potongan-potongan film yang ditonton berulang-ulang. Maklum, mungkin sekira setahun lebih, aku tidak menginjak kampus ini lagi. Meski sudah bertugas di kabupaten Gowa sejak empat bulan terakhir, aku baru bisa menyempatkan diriku untuk mampir dikampus ini, Kamis 8 April 2010.
Kampus ini memang banyak memberikanku kenangan yang manis. Mulai dari membangun gerakan yang massif untuk kepentingan pribadi sampai kisah klasik; mencuri nilai untuk bisa selesai tepat waktu ---walau hasilnya, saya menyelesaikan kuliahku tidk tepat waktu. Sungguh manis rasanya kenangan itu. Andai dia tidak berlalu begitu cepat.
“Haluuu, Kanda……,” Teriakan itu memaksaku untuk memalingkan muka dari arah suara. Terlihat sosok pemuda, gemuk, pendek, dan berjanggot tipis dengan baju kemeja yang berantakan. Dia duduk di kantin kampus dengan beberapa, pemuda lainnya, tentunya dengan tampang yang berantakan pula. Merekalah, adik junior ku. Pemuda gemuk , pendek dan berjanggot itu namanya, Kasman. Sedangkan yang lainnya, aku tidak terlalu kenal. Setahuku, mereka adik juniorku yang baru masuk di kampus itu.
“kak, adek-adek ini mau minta tolong, kita lagi ada masalah,” kata Kasman memulai pembicaraan. Padahal, saya belum juga duduk dikursi.
Kami pun bercerita panjang lebar di tempat itu. Inti pembicaraan itu, mereka protes terhadap kebijakan kampus yang mengeluarkan peraturan kemahasiswaan. Isi aturan itu, menjelaskan jika Mahasiswa yang akan aktif dari lembaga kemahasiswaaan, adalah mereka yang memiliki IPK minilai 3,5. Selain itu, mereka juga harus diatas semester IV. Sungguh tidak adil menurutku. Bisa jadi ini akan menjadi kuburan buat para “pembangkang” baru di kampus UNM.
Wajar saja, kampus ini terkenal dengan tempatnya para “pembangkang”. Mahasiswanya, tidak segan-segan untuk melakukan otokritik terhadap hal-hal yang dianggap menyimpang kepada siapapun. Bahkan, sejumlah aktivis gerakan, menilai kampus yang penghasil “Oemar Bakry” (Tokoh guru yang lahir dari lagu Iwan Fals) ini sebagai salah satu motor gerakan di Indonesia Timur.
Sejak dua tahun terakhir, kampus ini memang agak berubah. Sejumlah bangunan tinggi menjulang mulai terbangun di tempat ini. Tidak hanya itu, gaya hedonisme, juga mulai agak kental di tempat ini. Jika kampus ini adalah cerminan sebuah kota “kecil”, aku bias simpulkan, kampus ini sudah Patolopolis ---Kota yang penduduknya menunjukkan banyak dihinggapu penyakit mental.
Saat itu, hati kecil ku berkata; sungguh malang orang-orang yang kuliah disini. Mereka berada di lorong yang gelap, harus di hadapkan dengan cahaya yang “menyesatkan”. Mereka yang jauh-jauh datang dari kampung masing-masing untuk belajar, harus dikebiri ilmunya dengan aturan yang tidak jelas. Padahal, saya ingat jelas kalimat seorang dosen Pendidikan kewarganegaraan saya. Waktu itu dia berkata; tidak ada dinding setebal apapun yang menghalangi manusia untuk mencari ilmu pengetahuan.
Sungguh malang nasib mu adik-adik ku. Mengapa harus takut dengan gelap. Nyalakan api kebenaran, lalu usirlah semua gelapnya.(***)
“Berjayalah kalimat-kalimat yang kutulis. Sebab mereka mendapat teman dan musuh yang menghormati,” (Kudedikasikan Buat, Angsu:"Selamat Ulang Tahun")
Oleh :
Eka Nugraha
Kota yang ramai, saling sibuk dan bergerak maju. Mungkin seperti itulah rasanya saat melintasi wilayah perbatasan antara kabupaten Gowa dan kota Makassar saat sore hari. Deru kendaraan, suara bising, macet, asap knalpot, dan debu yang beterbangan, selalu saja menjadi sajian pemandangan sore di tempat itu. Diantara deru masalah-masalah itu, terus saja ku percepat laju motor ku. Maklum, saya sedang ada janji dengan adik-adik juniorku di bekas kampus ku dulu.
Saat tiba di kampus itu, kenangan ku mulai tersibak. Seperti potongan-potongan film yang ditonton berulang-ulang. Maklum, mungkin sekira setahun lebih, aku tidak menginjak kampus ini lagi. Meski sudah bertugas di kabupaten Gowa sejak empat bulan terakhir, aku baru bisa menyempatkan diriku untuk mampir dikampus ini, Kamis 8 April 2010.
Kampus ini memang banyak memberikanku kenangan yang manis. Mulai dari membangun gerakan yang massif untuk kepentingan pribadi sampai kisah klasik; mencuri nilai untuk bisa selesai tepat waktu ---walau hasilnya, saya menyelesaikan kuliahku tidk tepat waktu. Sungguh manis rasanya kenangan itu. Andai dia tidak berlalu begitu cepat.
“Haluuu, Kanda……,” Teriakan itu memaksaku untuk memalingkan muka dari arah suara. Terlihat sosok pemuda, gemuk, pendek, dan berjanggot tipis dengan baju kemeja yang berantakan. Dia duduk di kantin kampus dengan beberapa, pemuda lainnya, tentunya dengan tampang yang berantakan pula. Merekalah, adik junior ku. Pemuda gemuk , pendek dan berjanggot itu namanya, Kasman. Sedangkan yang lainnya, aku tidak terlalu kenal. Setahuku, mereka adik juniorku yang baru masuk di kampus itu.
“kak, adek-adek ini mau minta tolong, kita lagi ada masalah,” kata Kasman memulai pembicaraan. Padahal, saya belum juga duduk dikursi.
Kami pun bercerita panjang lebar di tempat itu. Inti pembicaraan itu, mereka protes terhadap kebijakan kampus yang mengeluarkan peraturan kemahasiswaan. Isi aturan itu, menjelaskan jika Mahasiswa yang akan aktif dari lembaga kemahasiswaaan, adalah mereka yang memiliki IPK minilai 3,5. Selain itu, mereka juga harus diatas semester IV. Sungguh tidak adil menurutku. Bisa jadi ini akan menjadi kuburan buat para “pembangkang” baru di kampus UNM.
Wajar saja, kampus ini terkenal dengan tempatnya para “pembangkang”. Mahasiswanya, tidak segan-segan untuk melakukan otokritik terhadap hal-hal yang dianggap menyimpang kepada siapapun. Bahkan, sejumlah aktivis gerakan, menilai kampus yang penghasil “Oemar Bakry” (Tokoh guru yang lahir dari lagu Iwan Fals) ini sebagai salah satu motor gerakan di Indonesia Timur.
Sejak dua tahun terakhir, kampus ini memang agak berubah. Sejumlah bangunan tinggi menjulang mulai terbangun di tempat ini. Tidak hanya itu, gaya hedonisme, juga mulai agak kental di tempat ini. Jika kampus ini adalah cerminan sebuah kota “kecil”, aku bias simpulkan, kampus ini sudah Patolopolis ---Kota yang penduduknya menunjukkan banyak dihinggapu penyakit mental.
Saat itu, hati kecil ku berkata; sungguh malang orang-orang yang kuliah disini. Mereka berada di lorong yang gelap, harus di hadapkan dengan cahaya yang “menyesatkan”. Mereka yang jauh-jauh datang dari kampung masing-masing untuk belajar, harus dikebiri ilmunya dengan aturan yang tidak jelas. Padahal, saya ingat jelas kalimat seorang dosen Pendidikan kewarganegaraan saya. Waktu itu dia berkata; tidak ada dinding setebal apapun yang menghalangi manusia untuk mencari ilmu pengetahuan.
Sungguh malang nasib mu adik-adik ku. Mengapa harus takut dengan gelap. Nyalakan api kebenaran, lalu usirlah semua gelapnya.(***)
Langganan:
Postingan (Atom)