When Silence Speaks
One day, he will speak, .. He will reveal what actually occurred, ... Although all of them limited,...
EKA NUGRAHA
Bukit Manggarupi
Bapak..Mama ..kalian tau gak! Sekarang aku bagaimana?, dan ada di mana? Dalam kembara rantauku, jauuuh sekali. Mengelanai ruang-ruang hampa. Akhirnya aku sampai di suatu tempat yang tak bernama. Tempat ini sunyi, pengap, pekat, sesak, berdinding kristal yang buntu, tak bercelah, tak berjendela. Lama sekali Aku disini sendirian. sepi..Bapak..aku takut.! Kian hari kian mencekam Mama..!
Kesepian itu sudah mengkristal dalam hati ku. Dia mulai memadat, nyaris tanpa celah, tanpa rongga atau sekedar pori-pori. Tidak ada satu titik pun celah untuk membuat perasaan ini menjadi ramai. Bahkan, dinding-dinding kristal itu terus saja meluas. Luas tanpa batas, pipih tanpa tepi. Sekeras apapun dentuman suara kota, aku tetap saja dalam kesepian. Sepi, mesti dalam keramaian.
Bapak, Mama, saat membuat tulisan ini, anakmu semakin kurus, dan hanya memiliki sedikit uang. Tidak banyak yang bisa diperbuat oleh anakmu ini. Semakin berbuat dan berkata, semakin sepi pula perasaan ini.
“Idealisme itu, seperti gogos yang berisi empedu. Rasanya pahit,” seperti itu kata seorang seniorku semasa di kampus dulu.
Kalimat itu seperti ada benarnya. Seolah meninjeksikan pahaman aneh dalam pikiranku. Kadang, jiwa yang kurus ini berfikir, untuk apa melakukan semua ini?. Saat berbuat untuk orang banyak, bukan kawan yang terus bertambah. Tapi, lawan yang terus beranak pianak.
Bapak,.. Mama,... Netralitas sudah tidak ada lagi di tempat ku ini. Padahal, kita semua tahu, hanya netralitas yang selalu menjadi batasan setiap manusia. Namun, saya tetap berusaha sekuat tenaga untuk netral karena kalian lah yang telah mengajarkan semua ini. Kalian pernah berkata, manusia harus hidup diantara hitam dan putih.
Wahai Bapak ku tersayang dan Mamaku tercinta, dalam pengembaraan ku ini aku menemukan suatu pelajaran yang sangat berarti. Ternyata, idiot itu bukanlah kebiasaan. Justru kebiasaanlah yang menjadikan manusia menjadi orang yang idiot. Kebiasaan, juga tidak akan menjadi kebiasaan, jika tidak ada seorang pun yang memaksakan kebiasaannya.
Tidak Bapak,..!! Tidakkk Mama,... Saya bukanlah orang munafik. Saya tidak akan mengikuti kebiasaan orang-orang itu. Saat ini, ribuan orang memercayai saya. Setiap hari mereka membaca rentetan tulisan saya. Adalah sebuah kemunafikan jika saya mengkhianati kepercayaan mereka semua. Saya janji, meski tidak bisa berbuat apa-apa, saya akan tetap bertahan pada idealisme yang kalian ajarkan.
Bapak, Mama, kemarin siang, di tengah raung mesin kendaraan bermotor dan hiruk pikurnya pikiran ini, ponsel tuaku bergetar. Sebuah nomor asing berkedip-kedip gelisah. Aku kaget, menerima pesan singkat dari seseorang yang terkasih. Dialah orang yang mebuat hidup ini bercahaya, tapi dia juga telah membuat kesunyian ini menjadi kristal. Mejnadi Kristal dan terus membatu setelah kepergiannya
Setelah dia pergi, sungguh hari menjadi berjalan lambat kurasa. Harapan tuk terus bersama pupus sudah. Dia pergi dengan kesepian pula, tak pernah ku antar Dia. Tak pernah ku lepas dengan lambaian tangan. Saya hanya menyampaikan kata;”Persetan dengan adat mu,”. Mengingat peristiwa itu memang perih rasanya. Tapi itulah yang terjadi. Di perpisahan antara saya dan dia, beberapa waktu silam.
Kubalas pesan singkat itu dengan menelponnya kembali. Kukerjakan hal itu untuk mencoba mencekal ras rindu yang terus memberontak ini. Dibalik speaker telepon genggamku, dia bercerita banyak. Tentang kehidupan barunya yang penuh warna, penuh gairah dan sangat ramai. Saat itu, ku pastikan dia tidak se sepi diriku ini.
Akhhh,... Aku baru sadar, dia sekarang tidak perduli lagi dengan saya. Ku kemas rindu ini, lalu ku kubur bayangan dirinya dalam hatiku. Hingga akhirnya, kesepian melandaku, hingga saat ini. Apa boleh buat, ku putuskan hubungan telepon itu, lalu menginggalkan semua kenangan.
Bapak,... Mama,... Saat itu,... kutimang ponsel dengan gamang. Kenangan kampung halaman begitu menyentak. Antara iya dan tidak, sebenarnya aku sudah diperkenankan untuk pulang menjenguk kalian. Aku akan pulang,... !!! ya, aku akan pulang. Hingga saatnya tiba aku akan benar-benar PULANG.
Bapak,.. Mama,... Dalam kesepian ini, tidak banyak yang bisa saya perbuat. Saat membuat tulisan ini, saya berkata, Kesepian ku akhirnya berbicara. Meski hanya lewat tulisan dan berharap semua orang mengetahui saya. Agar semua orang sadar, jika hidup bukan hanya untuk uang.
Bapak,.... Mama,... Ada ku mamacu waktu, menuju mu,................
*) Di kloning dari berbagai sumber,....
12 Mei, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
'Sementara tangisan-tangisan itu terus mengalun, angin perlahan-lahan bagai susut...,' kok sama dgn cerpennya Agus Noor ya...?
ATM...., amati.. tiru... modifikasi.., hehehe.........
Posting Komentar