Bila kau ingin melihat pelangi, rasakanlah hujan terlebih dahulu”
Eka Nugraha
Biringbulu
“Loe, loe, loe,….. Loe, loe, loe”,….. teriak pria bertubuh ceking yang berada di boncengan motor ku sejak beberapa jam lalu.
Dia terus saja berteriak, berkali-kali. Sesekali, teriakannya itu dicampur dengan bahasa Makassar yang saya tidak mengerti apa artinya. Giginya bergemeletuk, seperti sara mesin ketik. Tubuh cekingnya yang dibalut baju kaos oblong hitam juga sudah gemetaran. Dia menggigil kedinginan.
“Ini mantra hujan Eka, kalau teriakannya keras, hujannya bisa berhenti,” kata pria ceking itu.
Bugma, itulah nama orang membonceng di motor ku sejak beberapa jam lalu. Saat itu, kami memang diguyur hujan deras.Kami dalam perjalanan menuju daerah kecamatan Biringbulu, kabupaten Gowa. Kami kesana setelah sebelumnya mendapat informasi jika di daerah itu terjadi longsor hebat. Dua warga setempat tewas tertimpa longsor. Kami berangkat berlima, selain Bugma, juga ada Sule, Arthur dan Hendra. Semuanya mengendarai sepeda motor.
Saat itu, hujan memang kembali menggelitik gelisah. Menderu seperti ombak yang menghempas pasir putih. Sementara aku, dan beberapa teman ku, terus saja menembus tirai-tirai hujan itu. Haru, penuh harap. Tak kuhiraukan.
Sekelebatan pecahan-pecahan air yang menyentuh kaca helm ku seakan merembes mengenai wajah. Meski begitu, kami tetap melanjutkan perjalanan.
Butir-butir air itu terus turun, musim hujan kali ini memang serasa menghentakkan. Menekan batin meronta, mencoba merengkuh anak manusia yang getir karena dingin.
Setelah beberapa kilometer melintasi jalan-jalan basah di lokasi itu. Kami menemukan rumah penduduk. Berteduh sejenak, sambil menanyakan sisa jarak menuju lokasi yang akan kami datangi.
Saya melihat Bugma saat itu. Laki-laki itu berwajahkan debu-debu jalanan yang setiap hari dipungutnya dari waktu-waktu kerjanya. Dia memang selalu ingin menjadi seorang pengejar berita yang hebat. Baginya mereka adalah pahlawan-pahlawan perekam sejarah dan beragam peristiwa.
Badannya yang terbungkus baju kaos oblong, tanpa jaket atau mantel itu terus gemeratan. Nafasnya terisak-isak, seperti orang yang berusaha mengumpulkan jiwa-jiwa yang kelelahan. Dia kemudian mengambil sebatang rokok dari tas pinggangnya yang terbungkus plastik.
“mantranya tidak berhasil, hujannya terus turun,” ujar Bugma, sambil mengepulkan asap-asap mentol dari sela-sela bibirnya.
Jemarinya yang juga ceking memainkan sebatang rokok. Dia menghirup asap-asap itu dengan nyaman, senyaman pengetahuannya bahwa ia meracuni paru-parunya setiap saat dalam helaan nikotin.
Hujan tidak menakutkan baginya. Setelah satu batang rokoknya habis, dia masih ingin melanjutkan perjalanan.
Melihat gelagat itu, saya langsung teringat, seseorang pernah berkata kepada saya tentang hujan. Perkataannya seperti rentetan kalimat sastra tentang hujan. Kira-kira kalimatnya seperti ini:
“kamu mungkin lebih suka berteduh, tetapi aku lebih suka berjalan di antara desah hujan. Air ini membuat aku merasakan hidup. Hidup yang tidak gersang semata-mata karena matahari. Basah, adalah sahabat, yang memenuhi pori-poriku dengan kebutuhan untuk merasakan gigil dan gemeletuknya rindu. Kau tidak pernah tahu arti rindu sebelum membiarkan hujan memandikanmu.”
Sebuah kalimat sastra tentang hujan dan aksaranya. Kalimat itu menjadi doktrin yang menginjeksikan akal pikiran ku. Merubah akal tentang hujan dan semua kisah tentangnya.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar