20 Maret, 2010

Melirik Aset Pejabat dan Pengusaha di Kawasan Parangloe

Ada Villa Pejabat dan Peternakan dari Luar Negeri

Sejak 1999, kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa resmi memiliki sumber air "raksasa" yang diberi nama Dam Bilibili. Sejak saat itu pula, beberapa pejabat dan pengusaha mulai menginvestasikan sejumlah lahan ditempat itu.



Eka Nugraha- Amiruddin
Parangloe,
Harian Fajar Edisi Januari

Kawasan Parangloe, Kabupaten Gowa mendadak berubah menjadi lahan yang mahal sejak dibangunnya Dam bilibili. Sejumlah pejabat dan pengusaha mulai menanamkan aset diwilayah itu. Bukan hanya dari wilayah Sulsel. Beberapa pengusaha dari negeri lain juga ikut menanamkan aset di tempat itu.Aset mereka itu beragam. Mulai dari peternakan sampai membangun villa di lahan tersebut.

Berdasarkan informasi yang dihimpun dari kantor kecamatan, sedikitnya terdapat enam pejabat dan pengusaha yang menanamkan asetnya diwilayah tersebut. Keenam pejabat dan pengusaha tersebut masing-masing adalah Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri) Komisaris Jendral Polisi (Komjen Pol) Yusuf Manggabarani, Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, Mantan wali kota Makassar, Baso Amiruddin Maula, Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo, dan Pengusaha asal Belanda, John Panre, dosen Unhas, Basri Palu. Tidak main-main, luas lahan yang mereka "kuasai" antara satu sampai 10 hektar. Semua pejabat dan pengusaha tersebut menanamkan asetnya dalam bentuk pembangunan Villa di bagian bukit disekitar kawasan Parangloe.

Selain itu, informasi dari kantor kecamatan setempat menyebutkan ada juga pengusaha asal China yang menanamkan asetnya dalam bentuk lokasi penggemukan hewan ternak. Sedikitnya 300 ekor sapi dapat ditampung diwilayah ternak tersebut.

Sekretaris Camat Parangloe, Tajuddin Dolo yang ditemui diruang kerjanya, Rabu 13 Januari membenarkan adanya informasi tersebut. Dia mengatakan, pembangunan villa tersebut sebenarnya telah dimulai sejak kawasan Dam Bilibili terbentuk. Pasalnya, saat itu, wilayah Dam bilibili adalah salah satu kawasan yang dianggap mewah saat itu.

Lalu berapa harga tanah waktu itu? Tajuddin mengatakan, waktu itu lahan disekitar parangloe terbilang mahal. Harganya antara Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu untuk satu meternya. Namun, belakangan, harga lahan disektar tempat itu kembali turun. Sekarang harganya hanya mencapai Rp 20 ribu permeternya.

"Saya tidak tahu, harganya sekarang menjadi turun. Mungkin karena pengaruh longsor tahun 2004 itu," jelas Tajuddin.

Tajuddin mengatakan, saat ini villa-villa tersebut hanya dijaga oleh beberapa orang warga sekitar. Mereka diberi upah oleh pemilik Villa. Upahnya beragam, antara Rp 700 ribu sampai Rp 1 juta. Sedangkan pemilik Villa, sesekali saja.

"Datangnya, paling banyak dua kali dalam satu bulan," jelas Tajuddin.

Usai dari ruang kerja Tajuddin, penulis mencoba mencari lokasi salah satu villa yang dimaksud. Salah satu lokasi villa yang terdekat adalah milik pengusaha asal Belanda, John Panre. Lokasinya berada di lokasi ketinggian kelurahan Bonto Parang, kecamatan Parangloe, kabupaten Gowa.

Medan yang mendaki dan licin --- apalagi saat itu sedang hujan --- membuat sulit untuk menjangkau lokasi tersebut. Setelah beberapa saat, sebuah bangunan berwarna putih ke cokelatan tampak berdiri megah ditangah-tengah kebun jagung. Pemandangan dam bilibili jelas terlihat di tempat itu. Ini lah villa yang dibangun oleh pengusaha asal Belanda, John Panre.

Sementara itu, ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Muhammad Said Saud menilai pembangunan villa tersebut adalah mubassir. Menurutnya, seharusnya lahan itu dikelola oleh penduduk sekitar yang mulai kehilangan mata pencarian.

"Sebaiknya dikembalikan lahannya untuk warga, karena warga saat ini mulai kehilangan mata pencarian," jelas Said.

Said mengatakan, dulu warga kebanyakan melakukan aktifitas tani di kawasan pegunungan Parangloe. Namun, setelah ada rencana pembangunan Dam Bilibili, sejumlah lahan warga mulai di bebaskan. Akibatnya, sebagian warga terpaksa di transmigrasikan di kabupaten Luwu. Setelah beberapa tahun kemudian, warga kemudian kembali ke kawasan Parangloe. Alasannya, lahan tempat transmigrasi itu ternyata masih bersengketa dengan penduduk lokal.

Setelah itu, mata pencarian warga adalah menjadi nelayan di Dam Bilibili. Namun, karena longsor yang terjadi 2004 lalu warga terpaksa berhenti menjadi nelayan dengan alasan kekeruhan dam bilibili yang membuat ikan menjadi mati. Saat ini, kebanyakan warga hanya menjadi buruh tambang galian C. Beberapa diantaranya, menjadi buruh bangunan di Makassar dan menjadi supir truk.

"Karena tidak ada pekerjaan lain, terpaksa warga melakukan pekerjaan itu," kata Said.

Lebih lanjut, Said mengatakan villa yang megah tersebut juga memancing keceburuan sosial terhadap penduduk lokal. Pasalnya, bangunan yang megah itu membuat susunan strata sosial di kawasan parangloe menjadi berubah.

"Efeknya juga ada pada tingkat strata sosial, terjadi kecemburuan sosial dan munculnya sekat-sekat antar warga," jelas Said.(***)

Tidak ada komentar: