*Guru-guru Sukarela dari Negeri Asing
Perempuan Itu Bernama Laura Syekes
DI tepi kanal Barabaraya, sekelompok anak asyik belajar. Gurunya ada juga perempuan bule.
Laporan
Eka Nugraha
Makassar
SEBUAH meja dan enam kursi yang dua di antaranya adalah plastik. Hanya benda-benda ini yang ada ruangan itu. Pemilik ruangan bernama Baharuddin Abidin. Dialah inisiator panti belajar untuk anak-anak usia sekolah di tepi kanal, di Barabaraya.
Inspirasi membuat sekolah ini muncul pada 1989 ketika Baharuddin baru saja pulang sekolah dari Jerman. Saat itu, kawasan tempat panti belajar berlokasi belum ada kanal. Masih terisolasi dari dunia luar. Tak ada akses masuk ke wilayah itu.
Setelah kanal terbangun, barulah ada setapak yang terbentuk di sisi kiri dan kanan saluran air. Baharuddin pun mulai "bermain" di wilayah kanal. Alangkah terkejutnya dia. Fakta yang ditemukan, banyak anak pinggir kanal tidak punya pendidikan. Ekonomi orangtua mereka memprihatinkan.
Hati Baharuddin dan sesamanya dosen di Universitas Hasanuddin (Unhas) tergerak. Ide membentuk pelayanan pendidikan darurat pun terbetik.
Baharuddin menceritakan, awalnya dia dan kawan-kawannya hanya mengontrak rumah milik almarhum Abdullah Baasir yang ketika itu juga dosen di Unhas. Dana pendidikan darurat hanya mengandalkan donatur dari beberapa dosen.
Rumah kontrakan yang kelak jadi panti belajar pun sangat sederhana. Meski berlantai dunia namun sebagian besarnya dindingnya terbuat dari papan. Ruang belajar di lantai dua. Hanya satu ruangan. Lantai satu dimanfaatkan sebagai perpustakaan.
"Saat itu hanya empat mata pelajaran, yaitu membaca, menulis, berhitung, dan pendidikan moral," beber Baharuddin, Selasa, 14 Oktober.
Ketika saya berkunjung ke panti belajar ini, suasana sementara gerah. Para murid dan guru pun berkeringat. Mereka terpaksa meninggalkan lantai dua dan belajar di perpustakaan.
Cukup banyak buku bacaan di perpustakaan. Sebagian besar donasi dari Rotary Club, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang sosial.
***
Tiba-tiba ada ketukan di pintu masuk ruang kerja Baharuddin. Dari balik daun pintu menyembul muka seorang perempuan. Bule. Kurus. Jangkung. Rambut pirang, terikat satu. Matanya abu-abu.
"Silakan Laura," kata Baharuddin kepada perempuan itu.
Baharuddin kemudian memperkenalkan perempuan itu. Namanya Laura Syekes. Dia salah seorang volunteer atau relawan dari Melbourne, Australia. Sudah sebulan Laura menetap di Makassar. Awalnya dia hanya mau belajar tentang Bahasa Indonesia sehingga tiba di Kota Daeng. Namun oleh Baharuddin, Laura diajak mengajar di panti belajar. Untuk baktinya ini, Laura tak menerima bayaran. Namanya saja relawan.
Dia belum fasih berbahasa Indonesia. Malah kadang "terpeleset". Seperti ketika dia berucap, "Masyarakat Makassar ramai." Padahal yang Laura maksud adalah, "Masyarakat Makassar ramah."
Di mata Laura, anak-anak yang menimba ilmu di panti belajar itu punya semangat tinggi. Punya keingintahuan besar.
Anak-anak dan musik memang bukan hal asing bagi Laura. Sebelum ke Indonesia, Laura sempat mengabdikan diri di Olympic Orchestra, Tiongkok saat olimpiade musim panas lalu. Di Tiongkok, Laura berkeliling memberi semangat kepada penduduk lokal.
Kenapa memilih Makassar?
"Why not? Saya (selalu) mencari kesempatan untuk datang ke Indonesia. Saya tidak mau menjadi turis saja di Makassar," jawab Laura.
***
Sesaat berlalu, perbincangan saya dengan Laura dan Baharuddin kembali ke masalah panti belajar. Laura meringsut. Dia kembali beraktivitas sebagai guru.
Saya dan Baharuddin juga menyusuri pinggir kanal Barabaraya. Tak cukup sepelemparan batu dari ruang kerja Baharuddin tadi, sampailah kami di sebuah bangunan semi permanen. Di depannya terpancang sebuah papan bertuliskan "Perpustakaan Panti Belajar Warga Muslim Barayya". Di sinilah Laura mengajar.
Di ruang 70 meter persegi, Laura dan puluhan anak usia 7-14 tahun duduk rapi. Mereka tak mengenakan pakaian seragam layaknya murid sekolah formal. Kadang mereka berdiri. Terutama jika hendak meraih buku yang tersusun di rak.
"Kiri..." ucap Laura.
"Kiri," jawab para murid kompak.
"Kiri bahasa Inggrisnya left," timpal Laura.
Sungguh sebuah simbiosis mutualisme. Murid-murid itu dapat pelajaran Bahasa Inggris gratis. Laura juga begitu; belajar Bahasa Indonesia dari anak-anak pinggir kanal. Keringat mengucur dari tubuh setiap anak. Cuaca menyengat. Panas. Tak ada alat pendingin ruangan. Namun senyum tetap menyempul di bibir Laura. (ekanugraha68@yahoo.co.id)
15 Oktober, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar