Melanglang Dunia untuk Budaya Bangsa
Tubuhnya tampak kurus, di usia nya yang lebih dari setengah abad. Keriput kulitnya ikut menghiasai wajahnya yang berkacamata. Gerak tangannya pun gemulai.Dialah Mak Coppong Daeng Rannu, seorang maestro tari pakarena asal kabupaten Gowa.
Eka Nugraha
Kampili, Gowa
Disebut-sebut, perempuan inilah yang mampu menarikan Pakarena dengan utuh, lengkap dengan kesakralannya sebagai sebuah tarian yang penuh dengan symbol kehidupan masyarakat Gowa.
Saat penulis berkunjung ke rumahnya di desa Kampili, Jumat 19 Maret kemarin, perempuan tua ini tampak duduk di atas balai bambu di bawah kolong rumahnya yang berbentuk panggung. Seperti rumah warga desa Kampili lainnya, rumah Mak Coppong juga terbilang sangat sederhana. Bahkan, beberapa dinding rumahnya terlihat sudah lapuk.
Mak Coppng adalah anak tunggal dari pasangan Daeng Baco dan Ba Iyo, masa kecilnya dihabiskan di desa Kampili, Kecamatan Palangga, kabupaten Gowa. Konon kabarnya, desa ini juga pernah menjadi pusat militer Belanda saat menduduki Indonesia.
Di usia 10 tahun, Mak Coppong sudah mulai belajar tari Pakarena. Tarian ini adalah tarian khas Makassar kuno yang dulu kerap dipersembahkan di Istana kejaraan Gowa dalam acara resmi. Tarian ini memang hanya bisa di ajarkan kepada anak yang berusia 10 tahun. Pasalnya, jika sudah diatas 10 tahun anak perempuan sudah tidak bisa lagi belajar gerakan tari itu dengan alas an gemulai gerakannya akan berbeda.
“Sallo-sallo mi anjo, (Bahasa Makassar yang artinya; sudah lama sekali mi itu)” kata Mak Coppong, saat penulis menanyakan sejak kapan dia menggeluti tari Pakkarena tersebut.
Tidak heran memang, jika penari di tuntut untuk gemulai dalam tarian Pakarena. Tarian ini, memang selalu identik dengan deru gendang yang mengentak bergemuruh. Jika pakarena mencerminkan kelembutan, gandrang pakarena menggambarkan keperkasaan pria Makassar.
Didampingi Sekdes Kampili, Ridwan dan anak kedua Mak Cappo, Ibrahim Daeng Nutung, perempuan tua ini tampak semangat menceritakan kisahnya selama menjadi penari pakarena. Mak Cappo tidak bisa berbahasa Indonesia, ceritanya pun terpaksa di terjemahkan oleh Ridwan atau Ibrahim.
Mak Coppo mengaku, tarian pakarena yang dilakoninya sempat di hentikan oleh anggota pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) atau yang lebih di kenal dengan sebutan “gerombolan”. Saat itu, tari Pakarena dihentikan dengan alasan tarian itu dianggap sebagai tari penyembah berhala oleh gerombolan.
“Kita dilarang waktu itu untuk melakukan atau mengajarkan tarian,” jelas Mak Coppong dengan bahasa daerah Makassar.
Namun, sekira 1973, tarian itu kembali bisa dilakonkan. Bersama dengan sejumlah sanggar seni yang ada di Sulsel, tarian ini pun kembali dimunculkan sebagai asset budaya Bangsa.
Di tahun 2004 tarian ini semakin terkenal. Selama tiga bulan mak Coppong keluar negeri memenuhi undangan untuk melakonkan tarian itu. Dia melanglang buana dari Singapura menuju negara-negara Eropa, Amerika Serikat hingga Australia untuk menjadi penari dalam pementasan I La Galigo yang disutradarai Robert Wilson. Akhir tahun 2006 lalu, dia tampil pada Festival Budaya di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Terakhir, Mak Cappong melakonkan Tariannya di Taipei, Cina pertengahan 2008 lalu.
Sampai sekarang, ia tetap bersemangat menarikan tarian Pakarena melalui gemulai gerakannya. Namun, beberapa tahun belakangan ini, Mak Coppong tidak lagi tampil sebagai penari.Kondisi fisiknya yang sudah tua tidak mungkin lagi untuk melakonkan tarian itu.
Namun, semangatnya untuk mempopolerkan tarian Pakarena tetap ada. Baginya menari adalah panggilan jiwa dan bertekad menekuni terus tarian itu agar seni tradisi suku Makassar tak lenyap tergerus budaya populer. Mungkin ini juga yang membuat dirinya tetap bersemangat menjalani sisa hidup, sembari menularkan ilmu tari pada sedikit orang muda yang tertarik pada seni tradisi.(***)
1 komentar:
waww......thx atas artikelnya ini.apa beliau mak coppong msih hidup?sy ingin sekali bertemu dgn maestro penari ini.jika boleh hubgi sy via email jinggalestari@gmail.com.salam!
Posting Komentar