Anak Tertimbun Lumpur Sampai Leher
Bencana longsor yang menghantam kelurahan Battang Barat, kecamatan Wara barat, Kota Palopo membawa luka yang mendalam bagi sejumlah warga. Seperti apa cerita perjuangan hidup dibalik bencana itu?
EKA NUGRAHA
Battang Barat
Fajar Edisi 10 November
Enam jenazah korban longsor dari luapan sungai bambalu yang menghantam kecamatan Battang Barat tersusun rapi di dalam masjid Al Ikhlas, Senin 9 November siang. Keenamnya, dibungkus dengan kain sarung seadanya. Sejumlah warga duduk mengelilingi jenazah tersebut. Beberapa diantaranya, tampak menangis meratapi nasib jenazah yang terbujur kaku itu.
Di sudut ruangan masjid yang berukuran sekira 40 meter persegi, seorang pria berdiri sambil menyandarkan dirinya ke dinding masjid. Matanya tampak berkaca-kaca, sesekali dia mengusap matanya yang mulai memeraj itu. Dialah Nurik Efendi, salah satu korban selamat dari bencana longsor kelurahan Battang Barat.
Nurik adalah kepala lingkungan To'jambu, kelurahan Battang Barat. Empat keluarga dekatnya menjadi korban keganasan longsor yang terjadi dinihari itu. Ke empatnya masing-masing; Alama, Oddang, Jisman dan Nuri. Jisman adalah sepupuh satu kali dari Nurik, sedangkan tiga orang lainnya adalah keluarga terdekat Nurik.
"Keluarga yang terjauh hanya sepupu satu kali saya, Jisman, yang lainnya bisa dikata orang tua saya," kata Nurik dengan nada yang bergetar.
Nurik mengisahkan, saat itu dia berada di rumahnya, yang tidak jauh dari rumah ke empat korban tersebut. Saat terjadi longsor, dia langsung mengeluarkan anaknya, Nela, 8, dan Audi, 4 dari rumahnya. Sementara istrinya, Suriani, 29 langsung menyeamatkan diri ke masjid Al Ikhlas untuk bergabung dengan warga lainnya.
"Setelah itu saya menyusul ke Masjid, ternyata saya lupa kalau anak saya tidak ikut," jelas Nurik.
Nurik pun sadar telah lupa mengambil kedua anaknya tersebut. Dia pun kembali ke lokasi kejadian. Dalam kondisi gelap, hujan dan berlumpur dia mencari anaknya. Selang setengah jam kemudian, dia menemukan kedua anaknya dalam keadaan tertimbun longsor sampai di leher.
"Subhanallah, mereka masih tetap ditempatnya, padahal lumpur sudah sampai dilehernya," terang Nurik dengan mata yang berkaca-kaca.
Sementara pada saat terjadi longsor, Nurik mengatakan ke empat keluarganya yang berbeda rumah itu sedang asyik menonton seri terakhir Moto GP. Sehingga, menurutnya hal itulah yang membuat mereka tidak sadar jika dalam kondisi yang berbahaya.
Cerita lainnya juga dialami oleh Alfiani, 16. Sebuah luka lecet pada pipi sebelah kiri gadis belia ini tampak menghiasi matanya. Sama dengan Nurik, matanya juga tampak merah, seperti baru saja mengeluarkan air mata.
Siswi SMU kristen di Palopo ini mengaku sempat tertimbun longsor selama satu jam.Saat longsor tiba, dia sedang berada di kamar rumahnya. Gadis ini sempat mengigil kedinginan saat tertimbun longsor selama sekira satu jam. Selama itu, banyak batu dan kayu yang jatuh mengenai mukanya. Tidak hanya itu, kakinya juga sempat tertindis batu didalam lumpur.
"Kaki juga sempat tertindis batu, terpaksa kaki luka saat naik dari lumpur," jelas Alfiana seraya memperlihatkan bekas luka di betisnya.
Alfiana kemudian berhasil menyelamatkan diri saat beberapa warga mulai menarik tangannya. Setelah keluar dari lumpur, dia pun menuju masjid bersama dengan warga lainnya. Disana dia pun bertemu dengan adik dan ibunya."Syukurlah, Tuhan masih mengizinkan saya bertemu dengan keluarga saya," kata Alfiana.
Alfiana mengaku saat itu masih sempat mendengar suara gemuruh dari atas gunung. Saat itu dia pun langsung mencoba keluar dari rumah. Namun, terlambat, saat hendak keluar dari rumah, longsor langsung memporakporandakkan rumahnya tersebut.
"Disitu mi saya langsung tertimbun, tidak tahu mau bikin apa karena lumpur sudah sampai dileher," jelas Alfiana.(nugie.fajar@gmail.com)
13 November, 2009
31 Oktober, 2009
Menembus Kampung Mabusa, Wilayah Terpencil di Lutra (2-Selesai)
Punya Banyak Potensi, Warga Masih Gunakan Sistem Barter
Tiga kecamatan terpencil di Luwu Utara; Limbong, Seko dan Rampi adalah
kecamatan yang memiliki potensi Hotikutura yang luar biasa. Sayang,
potensi itu terhalang oleh akses jalan yang jelek.
EKA NUGRAHA
Limbong
Ada banyak hal yang menarik pemerintah kabupaten Luwu Utara untuk
terus membuka akses jalan menuju tiga kecamatan terpencil itu. Selain
untuk mengatasi keterisolirnya penduduk di tiga kecamatan tersebut,
ternyata ketiga kecamatan itu memiliki potensi alam yang sangat luar
biasa.
Kecamatan Limbong adalah salah satu kecamatan yang ditetapkan sebagai
sentra hotikultura di Luwu Utara. Beragam jenis sayuran tumbuh di Tana
Masakke -- tanah yang dingin-- tersebut. Mulai dari tanaman kol,
wortel sampai buah apel juga tumbuh di tanah tersebut.
Selain itu, kecamatan yang memiliki jumlah penduduk sekira 400 kepala
keluarga tersebut juga memiliki potensi peternakan dan perikanan.
Salah satu peternakan andalan adalah sapi dan kuda. Sedangkan untuk
sektor perikanan, warga Limbong banyak memelihara ikan karper.
"Semua produksi hotikultura disini tidak dipupuk. Tanaman itu tumbuh
dengan sendirinya. yang kami lakukan hanya mendatangkan bibitnya,"
kata Camat Limbong Alam K A Parenrengi.
Lain halnya dengan di Seko, informasi yang dihimpun Fajar, di
kecamatan Seko terdapat peternakan rusa. komoditi andalan kecamatan
ini adalah dendeng rusa.
"Di Seko juga banyak potensinya, kebanyakan potensi peternakan," jelas Alam.
Sayang, karena akses jalan yang tidak memadai, semua potensi itu
kemudian tidak dapat dinikmati oleh banyak orang. Bahkan, kata Alam,
hampir setiap bulan, ada saja sayuran yang terbuang sia-sia karena
busuk.
Alam mengatakan, beberapa tahun silam, warga kecamatan Limbong masih
menggunakan sistem barter untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Hal
itu dilakukan karena saat itu, Limbong belum memiliki pasar.
"Sekarang sudah ada pasar rakyat, itu pun warga masih ada yang
melakukan sistem barter untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya,"
jelas Alam.
Lalu bagaimana untuk mengatasi kebutuhan sekunder lainnya? Alam
mengatakan, warga terpaksa menggunakan kendaraan roda dua yang
dimodifikasi sedemikian rupa untuk mengangkut kebutuhan tersebut.
Selain kendaraan roda dua, warga juga terkadang menggunakan tenaga
kuda untuk mengangkut barang.
Semantara itu, Bupati Luwu Utara, Luthfi A Mutty disela-sela
kunjungannya mengatakan poros jalan Sabbang-seko ditargetkan selesai
2012 mendatang. Jalanan ini nantinya juga akan menghubungkan kabupaten
Luwu Utara dengan provinsi Sulawesi Barat. Sehingga, produksi
Hotikultura di kecamatan Limbong tidak terbuang sia-sia.
"Saya sudah berbincang sama sejumlah warga, ternyata hasil produksi
itu di jual ke Seko. Mudah-mudahan jika akses jalan sudah baik, hasil
hotikultura itu bisa dijual ke Masamba," jelas Luthfi.(**)
Tiga kecamatan terpencil di Luwu Utara; Limbong, Seko dan Rampi adalah
kecamatan yang memiliki potensi Hotikutura yang luar biasa. Sayang,
potensi itu terhalang oleh akses jalan yang jelek.
EKA NUGRAHA
Limbong
Ada banyak hal yang menarik pemerintah kabupaten Luwu Utara untuk
terus membuka akses jalan menuju tiga kecamatan terpencil itu. Selain
untuk mengatasi keterisolirnya penduduk di tiga kecamatan tersebut,
ternyata ketiga kecamatan itu memiliki potensi alam yang sangat luar
biasa.
Kecamatan Limbong adalah salah satu kecamatan yang ditetapkan sebagai
sentra hotikultura di Luwu Utara. Beragam jenis sayuran tumbuh di Tana
Masakke -- tanah yang dingin-- tersebut. Mulai dari tanaman kol,
wortel sampai buah apel juga tumbuh di tanah tersebut.
Selain itu, kecamatan yang memiliki jumlah penduduk sekira 400 kepala
keluarga tersebut juga memiliki potensi peternakan dan perikanan.
Salah satu peternakan andalan adalah sapi dan kuda. Sedangkan untuk
sektor perikanan, warga Limbong banyak memelihara ikan karper.
"Semua produksi hotikultura disini tidak dipupuk. Tanaman itu tumbuh
dengan sendirinya. yang kami lakukan hanya mendatangkan bibitnya,"
kata Camat Limbong Alam K A Parenrengi.
Lain halnya dengan di Seko, informasi yang dihimpun Fajar, di
kecamatan Seko terdapat peternakan rusa. komoditi andalan kecamatan
ini adalah dendeng rusa.
"Di Seko juga banyak potensinya, kebanyakan potensi peternakan," jelas Alam.
Sayang, karena akses jalan yang tidak memadai, semua potensi itu
kemudian tidak dapat dinikmati oleh banyak orang. Bahkan, kata Alam,
hampir setiap bulan, ada saja sayuran yang terbuang sia-sia karena
busuk.
Alam mengatakan, beberapa tahun silam, warga kecamatan Limbong masih
menggunakan sistem barter untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Hal
itu dilakukan karena saat itu, Limbong belum memiliki pasar.
"Sekarang sudah ada pasar rakyat, itu pun warga masih ada yang
melakukan sistem barter untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya,"
jelas Alam.
Lalu bagaimana untuk mengatasi kebutuhan sekunder lainnya? Alam
mengatakan, warga terpaksa menggunakan kendaraan roda dua yang
dimodifikasi sedemikian rupa untuk mengangkut kebutuhan tersebut.
Selain kendaraan roda dua, warga juga terkadang menggunakan tenaga
kuda untuk mengangkut barang.
Semantara itu, Bupati Luwu Utara, Luthfi A Mutty disela-sela
kunjungannya mengatakan poros jalan Sabbang-seko ditargetkan selesai
2012 mendatang. Jalanan ini nantinya juga akan menghubungkan kabupaten
Luwu Utara dengan provinsi Sulawesi Barat. Sehingga, produksi
Hotikultura di kecamatan Limbong tidak terbuang sia-sia.
"Saya sudah berbincang sama sejumlah warga, ternyata hasil produksi
itu di jual ke Seko. Mudah-mudahan jika akses jalan sudah baik, hasil
hotikultura itu bisa dijual ke Masamba," jelas Luthfi.(**)
28 Oktober, 2009
Menembus Kampung Mabusa, Wilayah Terpencil di Lutra (1)
Jalan Antarprovinsi Terjelek di Sulawesi Selatan
Kampung Mabusa, kampung terjauh di kecamatan dikecamatan Limbong, Kabupaten Luwu Utara. Tidak mudah untuk menembus salah satu kampung terpencil ini di Luwu Utara ini.
EKA NUGRAHA
Limbong
FAJAR
Edisi Selasa, 27 Oktober
Meski waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, rasa dingin masih menusuk di kulit penulis saat berkunjung di kecamatan Limbong, kabupaten Luwu Utara, Sabtu 24 Oktober lalu. Maklum, wilayah ini berada diketinggian sekira 1.444 meter diatas permukaan laut (Mdpl). Jangan heran, jika kecamatan ini juga dikenal dengan istilah Tana Masakke ---Dalam bahasa Luwu artinya, wilayah yang dingin.
Kecamatan Limbong terletak sekira 66 kilometer arah Barat Laut kota Masamba, Kabupaten Luwu Utara. Jaraknya yang relatif jauh dan kondisi medannya yang sulit menyebabkan kecamatan ini menjadi salah satu dari tiga kecamatan yang terisolir di Lutra (Setelah Limbong masih ada kecamatan Seko dan Rampi).
Sejak 2001 lalu, pemerintah provinsi Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Pemkab Lutra mulai membuka akses jalan Sabbang-Rampi untuk mengatasi keterisolirnya tiga kecamatan terpencil ini. Sayang, sampai sekarang akses jalan itu baru sampai pada kampung Mabusa, wilayah terjauh dikecamatan Limbong.
Bersama dengan rombongan Bupati Lutra, M Luthfi A Mutty, penulis ikut menyusuri jalan menuju kampung Mabusa itu. Tidak banyak kendaraan yang bisa melalui jalan ini. Untuk kendaraan roda empat, sebaiknya kendaraan itu memiliki kapasitas four whell drive (4WD). Jika tidak, jangan berharap banyak untuk dapat menembus kampung yang berbatasan dengan kecamatan Seko tersebut.
"Kalau cuma mobil biasa, sebaiknya tidak usah kesana, pasti tidak akan sampai ditujuan," kata Camat Limbong, Alam K A Parenrengi.
Memang benar kata Alam, akses jalan sepanjang sekira 22 kilometer menuju kampung itu sangat sulit. Medan yang terjal dan berlumpur tentunya dapat membuat kendaraan bermotor kewalahan.
Dalam perjalanan ke Mabusa, beberapa kali penulis mendengar suara gardan yang kandas dengan tanah atau suara benturan bumper belakang mobil tumpangan penulis (penulis saat itu menumpang mobil jenis duoble Cabin). Selain itu, bau menyengat yang diperkirakan akibat gesekan kampas kopling mobil juga tercium saat mobil sudah benar-benar kandas didalam lumpur.
Bahkan Bupati Luwu Utara, Luhti A Mutty mengklaim jika poros kecamatan Sabbang ke kampung Mabusa adalah jalan terburuk di Sulawesi Selatan.
"Inilah jalan yang terburuk di Sulawesi Selatan," kata Luthfi disela-sela kunjungannya ke kampung Mabusa.(**)
Kampung Mabusa, kampung terjauh di kecamatan dikecamatan Limbong, Kabupaten Luwu Utara. Tidak mudah untuk menembus salah satu kampung terpencil ini di Luwu Utara ini.
EKA NUGRAHA
Limbong
FAJAR
Edisi Selasa, 27 Oktober
Meski waktu sudah menunjukkan pukul 13.00, rasa dingin masih menusuk di kulit penulis saat berkunjung di kecamatan Limbong, kabupaten Luwu Utara, Sabtu 24 Oktober lalu. Maklum, wilayah ini berada diketinggian sekira 1.444 meter diatas permukaan laut (Mdpl). Jangan heran, jika kecamatan ini juga dikenal dengan istilah Tana Masakke ---Dalam bahasa Luwu artinya, wilayah yang dingin.
Kecamatan Limbong terletak sekira 66 kilometer arah Barat Laut kota Masamba, Kabupaten Luwu Utara. Jaraknya yang relatif jauh dan kondisi medannya yang sulit menyebabkan kecamatan ini menjadi salah satu dari tiga kecamatan yang terisolir di Lutra (Setelah Limbong masih ada kecamatan Seko dan Rampi).
Sejak 2001 lalu, pemerintah provinsi Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Pemkab Lutra mulai membuka akses jalan Sabbang-Rampi untuk mengatasi keterisolirnya tiga kecamatan terpencil ini. Sayang, sampai sekarang akses jalan itu baru sampai pada kampung Mabusa, wilayah terjauh dikecamatan Limbong.
Bersama dengan rombongan Bupati Lutra, M Luthfi A Mutty, penulis ikut menyusuri jalan menuju kampung Mabusa itu. Tidak banyak kendaraan yang bisa melalui jalan ini. Untuk kendaraan roda empat, sebaiknya kendaraan itu memiliki kapasitas four whell drive (4WD). Jika tidak, jangan berharap banyak untuk dapat menembus kampung yang berbatasan dengan kecamatan Seko tersebut.
"Kalau cuma mobil biasa, sebaiknya tidak usah kesana, pasti tidak akan sampai ditujuan," kata Camat Limbong, Alam K A Parenrengi.
Memang benar kata Alam, akses jalan sepanjang sekira 22 kilometer menuju kampung itu sangat sulit. Medan yang terjal dan berlumpur tentunya dapat membuat kendaraan bermotor kewalahan.
Dalam perjalanan ke Mabusa, beberapa kali penulis mendengar suara gardan yang kandas dengan tanah atau suara benturan bumper belakang mobil tumpangan penulis (penulis saat itu menumpang mobil jenis duoble Cabin). Selain itu, bau menyengat yang diperkirakan akibat gesekan kampas kopling mobil juga tercium saat mobil sudah benar-benar kandas didalam lumpur.
Bahkan Bupati Luwu Utara, Luhti A Mutty mengklaim jika poros kecamatan Sabbang ke kampung Mabusa adalah jalan terburuk di Sulawesi Selatan.
"Inilah jalan yang terburuk di Sulawesi Selatan," kata Luthfi disela-sela kunjungannya ke kampung Mabusa.(**)
26 Oktober, 2009
Dari Kedatangan MS Bremen ke Pelabuhan Tanjung Ringgit
Kota Palopo, Gerbang Baru Wisata Internasional
Kota Palopo, selain merupakan kota yang terkenal dengan kebudayaannya, wilayah ini ternyata juga merupakan gerbang menuju wisata taraf internasional, Tana Toraja.
EKA NUGRAHA
Palopo
Jarum jam baru menunjukkan pukul 07:15 Wita. Pelabuhan Tanjung Ringgit kota Palopo tampak dipadati puluhan warga kota Palopo, Jumat 16 oktober kamarin. Matanya mengarah kepada sebuah kapal berwarna putih yang menuju kepelabuhan itu. Selang beberapa menit kemudian kapal itu akhirnya sandar juga.
Itulah kapal pesiar bernama MS Bremen. Kapal dengan bobot 6.752 kilogram dengan pangjang 101 meter tersebut mengangkut 150 wisatawan asing asal jerman yang akan melakukan kunjungan budaya di kota Palopo dan Toraja. Ke 150 Wisman itu terdiri atas wisatwan asal Austria, Belgia, Norwegia, jerman dan Swietzland.
Sebuah tarian khas kota Palopo bernama Tari Paduppa yang dibawakan oleh sejumlah gadis kota Palopo menyambut kedatangan wisatawan asing tersebut. Tarian ini melambangkan ucapan selamat datang di pusat pemerintahan kerajaan Luwu tersebut.
Wisatawan asing yang dipimpin oleh kapten kapal MS Bremen, Michael tersebut diterima langsung oleh Walikota Palopo, HPA Tenriadjeng. Usai acara penerimaan tersebut, puluhan Wisman mulai melangkah ke mobil Bus yang telah disediakan oleh Pemkot Palopo dan Pemkab Toraja. Mereka pun mulai melakukan kunjungan disejumlah lokasi budaya di Palopo. Lokasi budaya yang dimaksud adalah Istana kerajaan Luwu, lokasi pemakaman raja luwu, dan masjid jami tua kota Palopo.
Selain itu, wisman ini juga disuguhi bermacam kebudayaan di kota Palopo. Salahsatunya adalah ikon kampung budaya di Palopo. Kampung tersebut terletak di desa Peta, kecamatan Sendana.
"Ini adalah program kampung budaya kita yang baru," kata walikota Palopo, HPA Tenriadjeng saat ditemui disela-sela penerimaan Wisatawan itu.
Tenriadjeng mengatakan, kota Palopo adalah salah satu gerbang wisata internasional. Menurutnya, bagi wisatawan yang akan menuju ke Tana Toraja melalui jalur laut, tentunya akan lebih efektif dan efesien jika transit di kota Palopo. Selain jarak yang dekat, para wisatawan juga akan disuguhi kebudayaan Palopo yang tidak kalah menariknya.
Dia menambahkan, kemungkinan tahun depan sebuah kapal pesiar asing akan kembali berkunjung di Palopo. Kapal ini dikabarkan aan lebih besar dari MS Bremen.
"Tahun depan, dia akan berkunjung ke Palopo, bentuknya lebih besar, tapi saya belum tahu pasti namanya," jelas Tenriadjeng.
Sementara itu, wakil ketua sementara DPRD Palopo, Irwan Hamid mengatakan, potensi wisata di kota Palopo memang sangat luar biasa. Menurutnya, kedepan, Palopo tidak hanya menjadi wilayah transit saja melainkan juga wilayah tujuan wisatawan asing.
"Kalau bisa bukan hanya wilayah transit saja, melainkan tempat tujuan wisatawan asing," jelas Irwan.(**)
Kota Palopo, selain merupakan kota yang terkenal dengan kebudayaannya, wilayah ini ternyata juga merupakan gerbang menuju wisata taraf internasional, Tana Toraja.
EKA NUGRAHA
Palopo
Jarum jam baru menunjukkan pukul 07:15 Wita. Pelabuhan Tanjung Ringgit kota Palopo tampak dipadati puluhan warga kota Palopo, Jumat 16 oktober kamarin. Matanya mengarah kepada sebuah kapal berwarna putih yang menuju kepelabuhan itu. Selang beberapa menit kemudian kapal itu akhirnya sandar juga.
Itulah kapal pesiar bernama MS Bremen. Kapal dengan bobot 6.752 kilogram dengan pangjang 101 meter tersebut mengangkut 150 wisatawan asing asal jerman yang akan melakukan kunjungan budaya di kota Palopo dan Toraja. Ke 150 Wisman itu terdiri atas wisatwan asal Austria, Belgia, Norwegia, jerman dan Swietzland.
Sebuah tarian khas kota Palopo bernama Tari Paduppa yang dibawakan oleh sejumlah gadis kota Palopo menyambut kedatangan wisatawan asing tersebut. Tarian ini melambangkan ucapan selamat datang di pusat pemerintahan kerajaan Luwu tersebut.
Wisatawan asing yang dipimpin oleh kapten kapal MS Bremen, Michael tersebut diterima langsung oleh Walikota Palopo, HPA Tenriadjeng. Usai acara penerimaan tersebut, puluhan Wisman mulai melangkah ke mobil Bus yang telah disediakan oleh Pemkot Palopo dan Pemkab Toraja. Mereka pun mulai melakukan kunjungan disejumlah lokasi budaya di Palopo. Lokasi budaya yang dimaksud adalah Istana kerajaan Luwu, lokasi pemakaman raja luwu, dan masjid jami tua kota Palopo.
Selain itu, wisman ini juga disuguhi bermacam kebudayaan di kota Palopo. Salahsatunya adalah ikon kampung budaya di Palopo. Kampung tersebut terletak di desa Peta, kecamatan Sendana.
"Ini adalah program kampung budaya kita yang baru," kata walikota Palopo, HPA Tenriadjeng saat ditemui disela-sela penerimaan Wisatawan itu.
Tenriadjeng mengatakan, kota Palopo adalah salah satu gerbang wisata internasional. Menurutnya, bagi wisatawan yang akan menuju ke Tana Toraja melalui jalur laut, tentunya akan lebih efektif dan efesien jika transit di kota Palopo. Selain jarak yang dekat, para wisatawan juga akan disuguhi kebudayaan Palopo yang tidak kalah menariknya.
Dia menambahkan, kemungkinan tahun depan sebuah kapal pesiar asing akan kembali berkunjung di Palopo. Kapal ini dikabarkan aan lebih besar dari MS Bremen.
"Tahun depan, dia akan berkunjung ke Palopo, bentuknya lebih besar, tapi saya belum tahu pasti namanya," jelas Tenriadjeng.
Sementara itu, wakil ketua sementara DPRD Palopo, Irwan Hamid mengatakan, potensi wisata di kota Palopo memang sangat luar biasa. Menurutnya, kedepan, Palopo tidak hanya menjadi wilayah transit saja melainkan juga wilayah tujuan wisatawan asing.
"Kalau bisa bukan hanya wilayah transit saja, melainkan tempat tujuan wisatawan asing," jelas Irwan.(**)
12 Oktober, 2009
Kisah Hidup Imam Masjid Jami Tua Kota Palopo
Setengah Abad Lebih Mengabdi untuk Islam
"Tuhan selalu memberikan berkah kepada ummat-Nya yang cinta kepada-Nya,"
EKA NUGRAHA
Palopo
Sepenggal kalimat itu mengalir dari mulut Abdul Latief Al Muscati, seorang imam masjid Jami tua di Palopo, Selasa 14 September. Meski agak terbata-bata, pria paruh baya ini masih tampak semangat menceritakan perjuangan hidupnya menjadi seorang imam masjid tertua di Palopo.
Hampir semua jemaah masjid Jami (masjid tertua) di Palopo mengenal sosok keturunan Arab ini. Pasalnya, sejak tahun 1978, pria ini sudah mulai ada di masjid itu. Awalnya, dia hanya bertugas untuk membersihkan masjid paling bersejarah di Sulawesi Selatan itu.
"Awalnya, saya hanya membantu membersihkan Masjid, terus jadi guru mengaji, sampai sekarang jadi imam Masjid," jelas Abdul Latief.
Seperti dengan nama belakangnya; Al Muscati. Abdul Latief adalah salah seorang keturunan Arab yang bermukim di Palopo. Bahkan menurutnya, dia mengaku adalah keturunan cucu dari salah seorang penyebar Syiar Islam terkenal di Palopo bernama Syekh Salim Djewed.
Latief mengatakan, Syekh Salim Djewed adalah sosok penyebar islam di Palopo. Dia pernah menjadi salah satu penasehat agama pada kerajaan Luwu yang saat itu dipimpin oleh Datuk Andi Djemma.
"Tidak ada yang tidak kenal dengan nenek saya itu, apalagi orang-orang kerajaan, pasti dia mengenalnya," jelas Latief.
Latief mengaku, banyak belajar dari neneknya mengenai agama Islam. Bahkan dia pernah belajar di Pendidikan Guru Agama (PGA) selama tiga tahun. Sayang, pendidikan tersebut harus terhenti karena saat itu terjadi perang oleh laskar yang dipimpin oleh Qahhar Mudzakkar. Latief pun harus meninggalkan kota Palopo selama tiga tahun.
Usai dari sana, Latief kemudian mulai tinggal di Masjid Jami tua. Saat itu, dia dipercaya untuk membersihkan masjid dan menjadi guru mengaji. Dia mengaku mulai tinggal di masjid itu sejak tahun 1978.
Lalu, berapa upah Latief saat itu? pria paruh baya dengan janggot yang mulai memutih ini mengaku hanya diberi upah Rp 2500 per bulan. Kehidupannya hanya ditopang dengan jualannya yang tidak jauh dari Masjid itu.
"Setelah beberapa tahun, saya diangkat menjadi imam masjid," jelasnya.
Pofesi sebagai imam masjid masih dilakoni Latief sampai sekarang. Selain itu, dia juga masih mengajar mengaji dan meladeni mayat. Kadang juga dia dipanggil oleh beberapa warga sebagai juru baca doa di sebuah acara.
"Selama hidup di Masjid Jami, ada saja berkah yang diberikan Tuhan," jelasnya.
Latief menambahkan, di hari raya idulfitri ini, dia meminta kepada semua orang agar senantisa menjalin silaturahmi dengan sesama umat muslim lainnya. Selai itu rasa cintanya kepada Tuhan juga harus ditingkatkan. Menurutnya, Tuhan akan selalu memberikan berkah kepada ummatnya yang senantiasa cinta kepada-Nya.
"Saya rasakan ketenraman saat berada di masjid ini, itu adalah salah satu berkah buat saya," jelas Latief.(**)
"Tuhan selalu memberikan berkah kepada ummat-Nya yang cinta kepada-Nya,"
EKA NUGRAHA
Palopo
Sepenggal kalimat itu mengalir dari mulut Abdul Latief Al Muscati, seorang imam masjid Jami tua di Palopo, Selasa 14 September. Meski agak terbata-bata, pria paruh baya ini masih tampak semangat menceritakan perjuangan hidupnya menjadi seorang imam masjid tertua di Palopo.
Hampir semua jemaah masjid Jami (masjid tertua) di Palopo mengenal sosok keturunan Arab ini. Pasalnya, sejak tahun 1978, pria ini sudah mulai ada di masjid itu. Awalnya, dia hanya bertugas untuk membersihkan masjid paling bersejarah di Sulawesi Selatan itu.
"Awalnya, saya hanya membantu membersihkan Masjid, terus jadi guru mengaji, sampai sekarang jadi imam Masjid," jelas Abdul Latief.
Seperti dengan nama belakangnya; Al Muscati. Abdul Latief adalah salah seorang keturunan Arab yang bermukim di Palopo. Bahkan menurutnya, dia mengaku adalah keturunan cucu dari salah seorang penyebar Syiar Islam terkenal di Palopo bernama Syekh Salim Djewed.
Latief mengatakan, Syekh Salim Djewed adalah sosok penyebar islam di Palopo. Dia pernah menjadi salah satu penasehat agama pada kerajaan Luwu yang saat itu dipimpin oleh Datuk Andi Djemma.
"Tidak ada yang tidak kenal dengan nenek saya itu, apalagi orang-orang kerajaan, pasti dia mengenalnya," jelas Latief.
Latief mengaku, banyak belajar dari neneknya mengenai agama Islam. Bahkan dia pernah belajar di Pendidikan Guru Agama (PGA) selama tiga tahun. Sayang, pendidikan tersebut harus terhenti karena saat itu terjadi perang oleh laskar yang dipimpin oleh Qahhar Mudzakkar. Latief pun harus meninggalkan kota Palopo selama tiga tahun.
Usai dari sana, Latief kemudian mulai tinggal di Masjid Jami tua. Saat itu, dia dipercaya untuk membersihkan masjid dan menjadi guru mengaji. Dia mengaku mulai tinggal di masjid itu sejak tahun 1978.
Lalu, berapa upah Latief saat itu? pria paruh baya dengan janggot yang mulai memutih ini mengaku hanya diberi upah Rp 2500 per bulan. Kehidupannya hanya ditopang dengan jualannya yang tidak jauh dari Masjid itu.
"Setelah beberapa tahun, saya diangkat menjadi imam masjid," jelasnya.
Pofesi sebagai imam masjid masih dilakoni Latief sampai sekarang. Selain itu, dia juga masih mengajar mengaji dan meladeni mayat. Kadang juga dia dipanggil oleh beberapa warga sebagai juru baca doa di sebuah acara.
"Selama hidup di Masjid Jami, ada saja berkah yang diberikan Tuhan," jelasnya.
Latief menambahkan, di hari raya idulfitri ini, dia meminta kepada semua orang agar senantisa menjalin silaturahmi dengan sesama umat muslim lainnya. Selai itu rasa cintanya kepada Tuhan juga harus ditingkatkan. Menurutnya, Tuhan akan selalu memberikan berkah kepada ummatnya yang senantiasa cinta kepada-Nya.
"Saya rasakan ketenraman saat berada di masjid ini, itu adalah salah satu berkah buat saya," jelas Latief.(**)
06 Oktober, 2009
Geliat Aktivis Pemekaran Luwu Raya
Pascapelantikan, Ramai-ramai Duduki Gubernuran
Bosan menunggu janji Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo yang tak kunjung mengeluarkan rekomendasi pemekaran Luwu Tengah. Sejumlah aktivis Luwu Raya mulai menyusun strategi baru.
EKA NUGRAHA
Palopo
(Fajar Edisi 10 September 2009)
Perjuangan untuk membentuk pemekaran Luwu Tengah rupanya tidak pernah mati. Sejumlah aktivis perjuangan Luwu Tengah yang tergabung dalam Forum Pemuda Luwu Raya untuk Pembentukan Kabupaten Luwu Tengah (FPLR-PKLT) mulai melakukan langkah nonformal untuk menuju pemekaran kabupaten baru tersebut.
Rencananya, pascapelantikan anggota DPRD Sulsel, aktivis perjuangan ini akan melakukan aksi unjuk rasa ke kantor Gubernur Sulsel. Bahkan, jika tidak ada aral melintang, aksi unjuk rasa ini bakal menjadi ucapan selamat idul fitri bagi Syahrul Yasin Limpo.
"Ini sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi, kami sudah bosan menunggu janji-janji Gubernur," jelas salah satu Deklarator FPLR-PKLT, Listan Cr, Kamis 10 September kemarin.
Menurut Listan, sejauh ini FPLR-PKLT sudah melakukan konsolidasi dengan beberapa organisasi perjuangan Luwu Raya lainnya. Dari hasil konsolidasi tersebut, sejumlah aktivis menyatakan bersedia untuk menagih janji Syahrul untuk menerbitkan rekomendasi pemekaran Luwu Tengah.
Listan menambahkan, secara administratif, pembentukan kabupaten Luwu Tengah tersebut sudah lengkap. Tinggal menunggu rekomendasi dari Syahrul. Sayangnya, sejak sudah dua kali pergantian Bupati Luwu (dari Basmin Mattayang ke Bahrum Daido, lalu ke Andi Mudzakar) rekomendasi yang dijanjikan Gubernur Sulsel tak kunjung keluar.
"Sudah tidak ada jalan lain, waktunya melakukan aksi turun kejalan, supaya dia (Syahrul) bisa mendengar,"katanya.
Saat ditanya kenapa mesti pascapelantikan anggota DPRD Sulsel. Listan mengatakan, langkah tersebut dinilai tidak efektif. Menurutntya, anggota DPRD yang baru belum memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan setelah pelantikan. Oleh karena itu, FPLR-PKLT akan melakukan aksi unjuk rasa dikantor Gubernur.
"Saya pikir preasure massa pascapelantikan lebih efektif daripada saat pelantikan, liat saja nanti," jelas Listan.(**)
Bosan menunggu janji Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo yang tak kunjung mengeluarkan rekomendasi pemekaran Luwu Tengah. Sejumlah aktivis Luwu Raya mulai menyusun strategi baru.
EKA NUGRAHA
Palopo
(Fajar Edisi 10 September 2009)
Perjuangan untuk membentuk pemekaran Luwu Tengah rupanya tidak pernah mati. Sejumlah aktivis perjuangan Luwu Tengah yang tergabung dalam Forum Pemuda Luwu Raya untuk Pembentukan Kabupaten Luwu Tengah (FPLR-PKLT) mulai melakukan langkah nonformal untuk menuju pemekaran kabupaten baru tersebut.
Rencananya, pascapelantikan anggota DPRD Sulsel, aktivis perjuangan ini akan melakukan aksi unjuk rasa ke kantor Gubernur Sulsel. Bahkan, jika tidak ada aral melintang, aksi unjuk rasa ini bakal menjadi ucapan selamat idul fitri bagi Syahrul Yasin Limpo.
"Ini sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi, kami sudah bosan menunggu janji-janji Gubernur," jelas salah satu Deklarator FPLR-PKLT, Listan Cr, Kamis 10 September kemarin.
Menurut Listan, sejauh ini FPLR-PKLT sudah melakukan konsolidasi dengan beberapa organisasi perjuangan Luwu Raya lainnya. Dari hasil konsolidasi tersebut, sejumlah aktivis menyatakan bersedia untuk menagih janji Syahrul untuk menerbitkan rekomendasi pemekaran Luwu Tengah.
Listan menambahkan, secara administratif, pembentukan kabupaten Luwu Tengah tersebut sudah lengkap. Tinggal menunggu rekomendasi dari Syahrul. Sayangnya, sejak sudah dua kali pergantian Bupati Luwu (dari Basmin Mattayang ke Bahrum Daido, lalu ke Andi Mudzakar) rekomendasi yang dijanjikan Gubernur Sulsel tak kunjung keluar.
"Sudah tidak ada jalan lain, waktunya melakukan aksi turun kejalan, supaya dia (Syahrul) bisa mendengar,"katanya.
Saat ditanya kenapa mesti pascapelantikan anggota DPRD Sulsel. Listan mengatakan, langkah tersebut dinilai tidak efektif. Menurutntya, anggota DPRD yang baru belum memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan setelah pelantikan. Oleh karena itu, FPLR-PKLT akan melakukan aksi unjuk rasa dikantor Gubernur.
"Saya pikir preasure massa pascapelantikan lebih efektif daripada saat pelantikan, liat saja nanti," jelas Listan.(**)
02 September, 2009
Sejarah Masuknya Islam di Tana Luwu
Datuk asal Minangkabau Penyebar Islam di Tana Luwu
Bersentuhan dengan sejarah Sulawesi Selatan, maka kita tidak bisa lepas dari kisah kerajaan Luwu. Kerajaan inilah yang sampai saat ini diyakini sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan.
Eka Nugraha
Malangke
Int.
Het graf van vorst Petta Matinroƫ ri Malangke van Loewoe 1941
Makam Petta Matinroƫ ri Malangke, tahun 1941
Berbagai catatan sejarah menyebutkan bahwa kira-kira pada akhir abad XV masehi pengaruh islam mulai masuk di kerajaan Luwu. Agama islam itu diketahui masuk di daerah Luwu yang dibawa oleh seorang alim Ulama asal Minangkabau. Ulama tersebut diketahui bernama; Datuk Sulaeman atau yang populer dikenal dengan nama Dato' Sulaiman.
Datuk Sulaeman yang berasal dari Minangkabau ini kemudian dikenal dengan nama Datuk Pattimang. Nama tersebut diberikan karena beliau wafat dan dimakamkan di sebuah desa bernama Pattimang. Cukup mudah untuk mengunjungi makamnya, letaknya di sebelah selatan kabupaten Lutra. Tepatnya di kecamatan Malangke, sekira 60 kilometer dari kota Masamba.
Saat saya berkunjung di tempat itu, Sabtu 29 Agustus, suasana kompleks pemakaman Datuk Sulaiman tampak sunyi. Suara masjid yang berada dalam kompleks sesekali memecah keheningan pemakaman keturunan para raja tersebut.
"Sekarang sedang sunyi nanti menjelang lebaran baru kuburan ini ramai dikunjungi," kata penjaga kompleks pemakaman Datuk Sulaiman, Andi Tamring Opu To Patonangi.
Tamring menyebutkan, Datuk Sulaiman diperkirakan datang ke Desa Pattimang sekira abad ke XV. Pada saat itu, kerajaan Luwu dipimpin oleh seorang raja bernama Andi Pattiware. Tamring mengisahkan, saat Datuk Sulaiman melakukan pendaratan pertamanya di tana Luwu, hal pertama yang dilakukannya adalah melakukan shalat di tepi sungai. Uniknya, saat melakukan shalat, seluruh pepohonan yang berada disekitar tempat itu juga mengikuti gerakan Datuk Sulaiman. Tempat itu sekarang diberi nama "Tappong aju dua e" ---Bahasa Luwu; tempat pendaratan---
"Nanti setelah shalat, baru Datuk bertemu dengan raja untuk menyampaikan niatnya menyebarkan ajaran islam," kata Tamring yang mengaku keturunan langsung dari raja Luwu ke-15 Andi Pattiware.
Niat Datuk untuk menyebarkan ajaran islam akhirnya diterima oleh Raja Pattiware. Oleh karena itu, raja menunjuk anak kandungnya yang belakangan di ketahui bernama Andi Abdullah untuk menjadi muslim pertama di tana Luwu. Setelah itu, raja pun ikut memeluk agama islam.
Penulis belum menemukan Informasi mengenai siapakah jati diri datuk yang berasal dari Minagkabau tersebut. Apakah ia berasal dari didikan dan santri dari Ranah Minang atau bukan? hal itu belum jelas.
Tamring hanya menjelaskan, mitos yang berkembang, beberapa hari setelah meninggalnya Datuk Sulaiman itu, sebuah suara aneh muncul. Suara itu menyebutkan kalau datuk tersebut ternyata adalah keturunan Arab Saudi. Namun, ada juga segelintir informasi kalau Datuk Sulaiman adalah salah seorang santri dari Sunan Giri.(***)
Bersentuhan dengan sejarah Sulawesi Selatan, maka kita tidak bisa lepas dari kisah kerajaan Luwu. Kerajaan inilah yang sampai saat ini diyakini sebagai kerajaan tertua di Sulawesi Selatan.
Eka Nugraha
Malangke
Int.
Het graf van vorst Petta Matinroƫ ri Malangke van Loewoe 1941
Makam Petta Matinroƫ ri Malangke, tahun 1941
Berbagai catatan sejarah menyebutkan bahwa kira-kira pada akhir abad XV masehi pengaruh islam mulai masuk di kerajaan Luwu. Agama islam itu diketahui masuk di daerah Luwu yang dibawa oleh seorang alim Ulama asal Minangkabau. Ulama tersebut diketahui bernama; Datuk Sulaeman atau yang populer dikenal dengan nama Dato' Sulaiman.
Datuk Sulaeman yang berasal dari Minangkabau ini kemudian dikenal dengan nama Datuk Pattimang. Nama tersebut diberikan karena beliau wafat dan dimakamkan di sebuah desa bernama Pattimang. Cukup mudah untuk mengunjungi makamnya, letaknya di sebelah selatan kabupaten Lutra. Tepatnya di kecamatan Malangke, sekira 60 kilometer dari kota Masamba.
Saat saya berkunjung di tempat itu, Sabtu 29 Agustus, suasana kompleks pemakaman Datuk Sulaiman tampak sunyi. Suara masjid yang berada dalam kompleks sesekali memecah keheningan pemakaman keturunan para raja tersebut.
"Sekarang sedang sunyi nanti menjelang lebaran baru kuburan ini ramai dikunjungi," kata penjaga kompleks pemakaman Datuk Sulaiman, Andi Tamring Opu To Patonangi.
Tamring menyebutkan, Datuk Sulaiman diperkirakan datang ke Desa Pattimang sekira abad ke XV. Pada saat itu, kerajaan Luwu dipimpin oleh seorang raja bernama Andi Pattiware. Tamring mengisahkan, saat Datuk Sulaiman melakukan pendaratan pertamanya di tana Luwu, hal pertama yang dilakukannya adalah melakukan shalat di tepi sungai. Uniknya, saat melakukan shalat, seluruh pepohonan yang berada disekitar tempat itu juga mengikuti gerakan Datuk Sulaiman. Tempat itu sekarang diberi nama "Tappong aju dua e" ---Bahasa Luwu; tempat pendaratan---
"Nanti setelah shalat, baru Datuk bertemu dengan raja untuk menyampaikan niatnya menyebarkan ajaran islam," kata Tamring yang mengaku keturunan langsung dari raja Luwu ke-15 Andi Pattiware.
Niat Datuk untuk menyebarkan ajaran islam akhirnya diterima oleh Raja Pattiware. Oleh karena itu, raja menunjuk anak kandungnya yang belakangan di ketahui bernama Andi Abdullah untuk menjadi muslim pertama di tana Luwu. Setelah itu, raja pun ikut memeluk agama islam.
Penulis belum menemukan Informasi mengenai siapakah jati diri datuk yang berasal dari Minagkabau tersebut. Apakah ia berasal dari didikan dan santri dari Ranah Minang atau bukan? hal itu belum jelas.
Tamring hanya menjelaskan, mitos yang berkembang, beberapa hari setelah meninggalnya Datuk Sulaiman itu, sebuah suara aneh muncul. Suara itu menyebutkan kalau datuk tersebut ternyata adalah keturunan Arab Saudi. Namun, ada juga segelintir informasi kalau Datuk Sulaiman adalah salah seorang santri dari Sunan Giri.(***)
19 Agustus, 2009
Dibalik Rencana Pemekaran Luwu Raya
Bukan Euforia Reformasi, Sudah Menjadi Ideologi
"Ini bukan euforia reformasi. Kalau seumpamanya kita semua mati hari ini, maka anak cucu yang lahir di Tana Luwu pasti akan tetap melanjutkan perjuangan provinsi ini,"
EKA NUGRAHA
Palopo
(Fajar Edisi Juni 2009)
Kalimat itu terlontar dari mantan komite perjuangan Provinsi Luwu Raya tahun 2002, Baharman Supri, kamis 16 juli lalu. Dia menilai, perjuangan pemekaran Luwu Raya bukan lagi karena kepentingan kekuasaan. Perjuangan ini bahkan sudah menjadi ideologi rakyat Luwu. Sehingga, mau tidak mau, provinsi Luwu Raya sudah menjadi harga mati ribuan rakyat Luwu.
Menurut Baharman, banyak faktor yang membuat rakyat Luwu harus memperjuangkan pemekaran itu. Salah satunya adalah faktor etnis. Selama ini, kata Baharman, etnis Luwu tidak pernah dikenali di Sulsel, yang ada hanya etnis Bugis, Mandar, Makassar atau sebagainya. Padahal, Luwu juga merupakan salah satu etnis di Sulawesi Selatan.
"Ini juga sudah menjadi perjuangan etnis, kita harus memperjelas etnis kita, caranya dengan memperjuangkan provinsi Luwu Raya ini," kata Baharman.
Baharman mengatakan, perjuangan pemekaran Luwu Raya sebenarnya telah dilakukan sejak zaman kerajaan. Pada fase ini, perjuangan rakyat Luwu terhambat pada kepentingan Gubernur Sulsel.
"Saat itu hampir semua anggota kepanitiaan pemekaran Luwu raya yang terdiri atas PNS dan anggota Dewan di pindah tugaskan. Bahkan beberapa diantaranya di pecat," kata baharman.
Fase selanjutnya adalah fase dimana Tana toraja hendak bergabung dalam pemekaran provinsi Luwu raya. Pemekaran provinsi Luwu saat itu terhambat karena beberapa tokoh masyarakat utamanya tokoh islam tidak menerima Tana toraja sebagai bagian dari provinsi Luwu raya.
Terakhir, adalah fase pemerintahan sekarang. pada fase ini, selain karena kendala administrasi yang berubah-ubah, beberapa kelompok elit politik seTana Luwu belum sepenuhnya mengambil sikap. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya rekomendasi yang dikeluarkan dari kabupaten Luwu Timur.
"Saya yakin, semua rekomendasi itu akan terbit, provinsi Luwu raya tinggal menunggu waktu," kata Baharman.
Momentum Politik
Baharman mengatakan, kebanyakan, revolusi suatu bangsa sebenarnya terwujud dengan menggunakan momen politik. Oleh karena itu, momen politik pemilihan gubernur 2012, bisa dijadikan momen pemekaran provinsi Luwu raya.
"Makanya, pemekaran Luwu tengah saat ini menjadi fokus untuk memenuhi persyaratan administratif," jelasnya.
Dengan terbentuknya Luwu Tengah, berarti secara administratif Provinsi Luwu raya sudah terpenuhi. Sekarang, rakyat Luwu tinggal memilih siapa Gubernur yang terpilih nanti yang mau membantu perjuangan Luwu raya. Menurutnya, kalau memang momen ini bisa berhasil, berarti perjuangan Rakyat Luwu untuk mewujudkan provinsi Luwu raya genap setengah abad.
Selain itu, kata Baharman, seperti perjuangan revolusi di bangsa lainnya, pemekaran Luwu raya juga membutuhkan tokoh aktor revolusi. Tokoh inilah yang menjadi ujung tombak perjuangan provinsi Luwu raya.
Lalu siapa yang layak menjadi tokoh itu? "Saya kira yang layak sekarang adalah Bupati Luwu utara, Luthfi, bisa dibilang dia memiliki hampir semuanya, mulai pengikut, jaringan dan karakter ketokohan," jelasnya.(**)
"Ini bukan euforia reformasi. Kalau seumpamanya kita semua mati hari ini, maka anak cucu yang lahir di Tana Luwu pasti akan tetap melanjutkan perjuangan provinsi ini,"
EKA NUGRAHA
Palopo
(Fajar Edisi Juni 2009)
Kalimat itu terlontar dari mantan komite perjuangan Provinsi Luwu Raya tahun 2002, Baharman Supri, kamis 16 juli lalu. Dia menilai, perjuangan pemekaran Luwu Raya bukan lagi karena kepentingan kekuasaan. Perjuangan ini bahkan sudah menjadi ideologi rakyat Luwu. Sehingga, mau tidak mau, provinsi Luwu Raya sudah menjadi harga mati ribuan rakyat Luwu.
Menurut Baharman, banyak faktor yang membuat rakyat Luwu harus memperjuangkan pemekaran itu. Salah satunya adalah faktor etnis. Selama ini, kata Baharman, etnis Luwu tidak pernah dikenali di Sulsel, yang ada hanya etnis Bugis, Mandar, Makassar atau sebagainya. Padahal, Luwu juga merupakan salah satu etnis di Sulawesi Selatan.
"Ini juga sudah menjadi perjuangan etnis, kita harus memperjelas etnis kita, caranya dengan memperjuangkan provinsi Luwu Raya ini," kata Baharman.
Baharman mengatakan, perjuangan pemekaran Luwu Raya sebenarnya telah dilakukan sejak zaman kerajaan. Pada fase ini, perjuangan rakyat Luwu terhambat pada kepentingan Gubernur Sulsel.
"Saat itu hampir semua anggota kepanitiaan pemekaran Luwu raya yang terdiri atas PNS dan anggota Dewan di pindah tugaskan. Bahkan beberapa diantaranya di pecat," kata baharman.
Fase selanjutnya adalah fase dimana Tana toraja hendak bergabung dalam pemekaran provinsi Luwu raya. Pemekaran provinsi Luwu saat itu terhambat karena beberapa tokoh masyarakat utamanya tokoh islam tidak menerima Tana toraja sebagai bagian dari provinsi Luwu raya.
Terakhir, adalah fase pemerintahan sekarang. pada fase ini, selain karena kendala administrasi yang berubah-ubah, beberapa kelompok elit politik seTana Luwu belum sepenuhnya mengambil sikap. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya rekomendasi yang dikeluarkan dari kabupaten Luwu Timur.
"Saya yakin, semua rekomendasi itu akan terbit, provinsi Luwu raya tinggal menunggu waktu," kata Baharman.
Momentum Politik
Baharman mengatakan, kebanyakan, revolusi suatu bangsa sebenarnya terwujud dengan menggunakan momen politik. Oleh karena itu, momen politik pemilihan gubernur 2012, bisa dijadikan momen pemekaran provinsi Luwu raya.
"Makanya, pemekaran Luwu tengah saat ini menjadi fokus untuk memenuhi persyaratan administratif," jelasnya.
Dengan terbentuknya Luwu Tengah, berarti secara administratif Provinsi Luwu raya sudah terpenuhi. Sekarang, rakyat Luwu tinggal memilih siapa Gubernur yang terpilih nanti yang mau membantu perjuangan Luwu raya. Menurutnya, kalau memang momen ini bisa berhasil, berarti perjuangan Rakyat Luwu untuk mewujudkan provinsi Luwu raya genap setengah abad.
Selain itu, kata Baharman, seperti perjuangan revolusi di bangsa lainnya, pemekaran Luwu raya juga membutuhkan tokoh aktor revolusi. Tokoh inilah yang menjadi ujung tombak perjuangan provinsi Luwu raya.
Lalu siapa yang layak menjadi tokoh itu? "Saya kira yang layak sekarang adalah Bupati Luwu utara, Luthfi, bisa dibilang dia memiliki hampir semuanya, mulai pengikut, jaringan dan karakter ketokohan," jelasnya.(**)
17 Agustus, 2009
Melirik Sejarah Monumen 23 Januari
Awal Perjuangan Rakyat Luwu
Sebuah monumen berdiri kokoh di depan istana kerajaan Luwu. Monumen itu bernama Monumen 23 Januari-1946.
EKA NUGRAHA
Palopo (Fajar, Edisi 21 Juli 2009)
Istana kerajaan Luwu memang menyimpan banyak sejarah perjuangan rakyat Luwu melawan penjajah. Arsitektur Belanda pun melekat pada pada istana tertua di Sulsel ini.
Pasalnya, istana itu memang didirikan saat Belanda menjajah Indonesia. Sebuah miniatur istana yang dulu (disebut Langkanae) juga didirikan di samping Istana Luwu tersebut.
Pada zaman Belanda, kota Palopo adalah pusat
pemerintahan Kedatuan Luwu, oleh karena itu istana
kerajaan tertua di Sulsel ini berada di jantung kota ini.
Sebuah papan nama bertuliskan "Istana datu Luwu, Datu
Luwu palace, anno: 1920" terpajang jelas di bagian depan
kompleks istana ini. Papan nama tersebut menandakan
istana itu pernah di bangun oleh Belanda sekira tahun
1920 (kata Anno: 1920, mendandakan bangunan buatan
Belanda tahun 1920)
Di dalam kompleks istana, terdapat monumen Perjuangan
Rakyat Luwu, berupa badik yang terhunus ke langit
dengan tulisan “Toddopuli Temmalara”. Selain itu, ada
juga tulisan "23 Januari-1946". Pasalnya, 23 Januari 1946,
adalah tanggal perjuangan rakyat kawasan timur di
Indonesia, yang di mulai dari istana kerajaan Luwu.
"23 Januari itu adalah simbol perjuangan bagian timur
Indonesia, titik perjuangannya ada di kerajaan Luwu, dan
dipimpin oleh datu Andi Djemma," kata seorang Pakkateni
Ade' (setingkat mentri di kerajaan Luwu), Opu Andi
Nyiwi, Senin 20 Juli kemarin.
Menurut Andi Nyiwi, perjuangan rakyat Luwu melawan
penjajah saat itu berpusat di istana kerajaan. Namun,
pecahnya perang terjadi di kecamatan Bua, kabupaten
Luwu. Perang tersebut dipimpin oleh pemimpin revolusi
rakyat Luwu, Andi Djemma, yang sekaligus saat itu adalah
raja Luwu
Lebih jauh, kata "Toddopuli Temmalara" bermakna "apa
yang diucapkan, harus dilakukan,". Saat itu, kata tersebut
memberikan makna kalau perjuangan rakyat Luwu harus
sesuai dengan kata hati. Kalimat ini juga sering di
analogikan dengan semboyan perjuangan Indonesia;
"merdeka atau mati". Inilah yang menjadi semboyan
perjuangan rakyat Luwu sampai sekarang ini.
"kata ini harus tertanam di jiwa generasi muda rakyat
Luwu, ini adalah semboyan tetua kita dahulu," kata Andi
Nyiwi.
Hal serupa juga dibenarkan oleh ketua Legiun Veteran
Palopo, Andi Baso Rahman, Senin 20 Juli kemarin.
Menurutnya, awal perjuangan rakyat Luwu adalah tanggal
23 Januari itu. Sedangkan puncak perjuangan itu adalah
perjuangan yang bernama Masamba Affair di Luwu Utara.
Sayangnya, dia tidak tahu pasti kapan monumen itu
terbangun.
Lebih jauh, Baso Rahman mengatakan, setiap 23 Januari,
tiga kabupaten dan satu kota se tana Luwu akan
memeringati perjuangan itu. Perayaannya dilakukan secara
bergiliran di tiga kabupaten dan satu kota tersebut.
"kalau tidak salah, tahun depan kita akan rayakan di
Kabupaten Luwu," kata Andi Baso Rahman.
Pernah juga ada mitos yang menyebutkan, kalau badik
yang terhunus ke langit pada monumen ini harus ditutup
dengan 'Pajung' (Payung). Pasalnya, hal itu dilakukan
supaya tidak menyebabkan adanya pertikaian lagi di Tana
Luwu.
Andi Nyiwi yang dikonfirmasi terkait hal itu membantah
mitos tersebut. Menurutnya, itu adalah monumen biasa
untuk memeringati perjuangan rakyat Luwu.
Namun, dia juga membenarkan, kalau badik yang terhunus
tersebut pernah diselimuti dengan kain. Tujuannya hanya
untuk memeringati perjuangan rakyat Luwu, sekaligus
sebagai simbol menyatunya rakyat Luwu.
"Memang ada cerita seperti itu, tapi itu tidak benar, saat
itu kita selimuti hanya sebagai simbol perdamaian,"
jelasnya.(**)
Sebuah monumen berdiri kokoh di depan istana kerajaan Luwu. Monumen itu bernama Monumen 23 Januari-1946.
EKA NUGRAHA
Palopo (Fajar, Edisi 21 Juli 2009)
Istana kerajaan Luwu memang menyimpan banyak sejarah perjuangan rakyat Luwu melawan penjajah. Arsitektur Belanda pun melekat pada pada istana tertua di Sulsel ini.
Pasalnya, istana itu memang didirikan saat Belanda menjajah Indonesia. Sebuah miniatur istana yang dulu (disebut Langkanae) juga didirikan di samping Istana Luwu tersebut.
Pada zaman Belanda, kota Palopo adalah pusat
pemerintahan Kedatuan Luwu, oleh karena itu istana
kerajaan tertua di Sulsel ini berada di jantung kota ini.
Sebuah papan nama bertuliskan "Istana datu Luwu, Datu
Luwu palace, anno: 1920" terpajang jelas di bagian depan
kompleks istana ini. Papan nama tersebut menandakan
istana itu pernah di bangun oleh Belanda sekira tahun
1920 (kata Anno: 1920, mendandakan bangunan buatan
Belanda tahun 1920)
Di dalam kompleks istana, terdapat monumen Perjuangan
Rakyat Luwu, berupa badik yang terhunus ke langit
dengan tulisan “Toddopuli Temmalara”. Selain itu, ada
juga tulisan "23 Januari-1946". Pasalnya, 23 Januari 1946,
adalah tanggal perjuangan rakyat kawasan timur di
Indonesia, yang di mulai dari istana kerajaan Luwu.
"23 Januari itu adalah simbol perjuangan bagian timur
Indonesia, titik perjuangannya ada di kerajaan Luwu, dan
dipimpin oleh datu Andi Djemma," kata seorang Pakkateni
Ade' (setingkat mentri di kerajaan Luwu), Opu Andi
Nyiwi, Senin 20 Juli kemarin.
Menurut Andi Nyiwi, perjuangan rakyat Luwu melawan
penjajah saat itu berpusat di istana kerajaan. Namun,
pecahnya perang terjadi di kecamatan Bua, kabupaten
Luwu. Perang tersebut dipimpin oleh pemimpin revolusi
rakyat Luwu, Andi Djemma, yang sekaligus saat itu adalah
raja Luwu
Lebih jauh, kata "Toddopuli Temmalara" bermakna "apa
yang diucapkan, harus dilakukan,". Saat itu, kata tersebut
memberikan makna kalau perjuangan rakyat Luwu harus
sesuai dengan kata hati. Kalimat ini juga sering di
analogikan dengan semboyan perjuangan Indonesia;
"merdeka atau mati". Inilah yang menjadi semboyan
perjuangan rakyat Luwu sampai sekarang ini.
"kata ini harus tertanam di jiwa generasi muda rakyat
Luwu, ini adalah semboyan tetua kita dahulu," kata Andi
Nyiwi.
Hal serupa juga dibenarkan oleh ketua Legiun Veteran
Palopo, Andi Baso Rahman, Senin 20 Juli kemarin.
Menurutnya, awal perjuangan rakyat Luwu adalah tanggal
23 Januari itu. Sedangkan puncak perjuangan itu adalah
perjuangan yang bernama Masamba Affair di Luwu Utara.
Sayangnya, dia tidak tahu pasti kapan monumen itu
terbangun.
Lebih jauh, Baso Rahman mengatakan, setiap 23 Januari,
tiga kabupaten dan satu kota se tana Luwu akan
memeringati perjuangan itu. Perayaannya dilakukan secara
bergiliran di tiga kabupaten dan satu kota tersebut.
"kalau tidak salah, tahun depan kita akan rayakan di
Kabupaten Luwu," kata Andi Baso Rahman.
Pernah juga ada mitos yang menyebutkan, kalau badik
yang terhunus ke langit pada monumen ini harus ditutup
dengan 'Pajung' (Payung). Pasalnya, hal itu dilakukan
supaya tidak menyebabkan adanya pertikaian lagi di Tana
Luwu.
Andi Nyiwi yang dikonfirmasi terkait hal itu membantah
mitos tersebut. Menurutnya, itu adalah monumen biasa
untuk memeringati perjuangan rakyat Luwu.
Namun, dia juga membenarkan, kalau badik yang terhunus
tersebut pernah diselimuti dengan kain. Tujuannya hanya
untuk memeringati perjuangan rakyat Luwu, sekaligus
sebagai simbol menyatunya rakyat Luwu.
"Memang ada cerita seperti itu, tapi itu tidak benar, saat
itu kita selimuti hanya sebagai simbol perdamaian,"
jelasnya.(**)
20 Juli, 2009
Mengupas Sejarah Lambang Daerah Luwu
Keris Bungawaru, Titipan dari Langit
"Saya tidak tahu itu Dek, karena saya baru bertugas di tempat ini,"
EKA NUGRAHA
Belopa
Itulah sepenggal kata yang terlontar Kepala Dinas pariwisata Kabupaten Luwu, Yusuf Romon saat ditanya tentang nama pembuat lambang daerah kabupaten Luwu. Pria paruh baya ini berusaha menggunakan usia jabatannya sebagai alasan ketidaktahuannya tentang nama pembuat lambang daerah kabupetan Luwu.
Bahkan, dinas yang bertugas mengurusi kebudayaan daerah ini juga tidak memiliki dokumen tentang lambang daerah itu. Yang ada hanya makna dari gambar tersebut. Yusuf kemudian menyarankan saya ke bagian Pemerintahan kabupaten luwu.
"Coba ke bagian pemerintahan, biasanya dia yang tahu secara detail hal itu," kata Yusuf.
Dibagian pemerintahan, saya tidak menemukan satupun dokumen tentang pembuat lambang itu. Hal serupa juga terjai di bagian hukum. Tidak pernah ada perda yang ciptakan untuk asal mula lambang daerah itu.
"Kalau makna lambangnya ada, tapi kalau sejarahnya, tidak ada," kata Kepala Bagian Hukum Pemkab Luwu, Baso Malarangeng.
Titik terang sejarah lambang daerah itu mulai muncul saat saya bertemu dengan salah seorang Pegawai senior di tempat itu. Namanya, Alim Bachri. saat ini, dia menjabat sebagai staf ahli Bupati Luwu bidang hukum dan politik.
Menurut Alim, diperkirakan lambang daerah itu di buat sekitar tahun 1946. Saat itu, Indonesia baru saja lepas dari penjajahan Jepang. Pada masa itu, Luwu belum merupakan wilayah kabupaten. Namanya masih menggunakan istilah Swapraja Luwu ---pemerintahan awal daerah yang ada di Luwu---. Swapraja Luwu saat itu dipimpin oleh Andi Djemma.
Sekira tahun 1946, Presiden RI pertama, Soekarno memanggil Andi Djemma ke istana negara. Tujuannya untuk merubah wilayah Swapraja menjadi kabupaten. Saat itulah, Luwu resmi menjadi wilayah kabupaten yang dipimpin oleh Andi Djemma.
"Kemungkinan, lambang daerah tersebut dibuat saat itu," kata Alim.
Sayangnya, Alim tidak tahu pasti siapa nama pembuat lambang daerah tersebut. Menurutnya, pembuat lambang itu diperkirakan salah satu orang dekat Andi Djemma.
"Saya tidak tahu persis, bisa jadi dia adalah salah satu orang dekat beliau (Andi Djemma)," kata Alim
Hal tersebut juga dibenarkan oleh seorang Pakketeni Ade' (Setingkat Mentri di Kerajaan Luwu), Andi Nyiwi Opu Daeng Mallongi. Saat ditemui di istana Luwu (sekarang Museum Kota Palopo), Rabu 15 Juli Kemarin, Andi Nyiwi mengatakan, pemimpin revolusi Kerajaan luwu, Andi Djemma memang pernah di panggil ke istana negara oleh Soekarno. Saat itu, dia bertemu dengan Soekarno bersama dengan raja Gowa dan raja Bone.
Saat ditanya tentang makna lambang itu, Andi Nyiwi mengatakan, lambang itu memiliki makna yang tersirat. Simbol keris yang ada di bagian tengah lambang itu menandakan ke sakralan kerajaan Luwu. Keris itu sebenarnya bernama keris Bungawaru. Keris ini diyakini adalah keris pemberian dari langit.
"Itu keris Bungawaru, rakyat Luwu yakin keris itu pemberian dari langit," kata Andi nyiwi.
Andi Nyiwi mengatakan, saat ini keris itu sudah tidak ada lagi di Indonesia. Pengurus kerajaan meyakini keris itu di curi Belanda saat hendak meninggalkan tana Luwu.
"Mungkin keris itu masih ada di Belanda, yang jelasnya tidak ada di Indonesia," katanya.
Lebih jauh, Andi Nyiwi mengatakan, lambang payung berwarna putih tersebut adalah lambang kerajaan Luwu sejak awal. Maknanya adalah kerajaan Luwu sangat melindungi seluruh warganya.
"Itu lambang payung, dari dulu lambang itu sudah digunakan di kerajaan Luwu," jelasnya.(nugie.fajar@gmail.com)
"Saya tidak tahu itu Dek, karena saya baru bertugas di tempat ini,"
EKA NUGRAHA
Belopa
Itulah sepenggal kata yang terlontar Kepala Dinas pariwisata Kabupaten Luwu, Yusuf Romon saat ditanya tentang nama pembuat lambang daerah kabupaten Luwu. Pria paruh baya ini berusaha menggunakan usia jabatannya sebagai alasan ketidaktahuannya tentang nama pembuat lambang daerah kabupetan Luwu.
Bahkan, dinas yang bertugas mengurusi kebudayaan daerah ini juga tidak memiliki dokumen tentang lambang daerah itu. Yang ada hanya makna dari gambar tersebut. Yusuf kemudian menyarankan saya ke bagian Pemerintahan kabupaten luwu.
"Coba ke bagian pemerintahan, biasanya dia yang tahu secara detail hal itu," kata Yusuf.
Dibagian pemerintahan, saya tidak menemukan satupun dokumen tentang pembuat lambang itu. Hal serupa juga terjai di bagian hukum. Tidak pernah ada perda yang ciptakan untuk asal mula lambang daerah itu.
"Kalau makna lambangnya ada, tapi kalau sejarahnya, tidak ada," kata Kepala Bagian Hukum Pemkab Luwu, Baso Malarangeng.
Titik terang sejarah lambang daerah itu mulai muncul saat saya bertemu dengan salah seorang Pegawai senior di tempat itu. Namanya, Alim Bachri. saat ini, dia menjabat sebagai staf ahli Bupati Luwu bidang hukum dan politik.
Menurut Alim, diperkirakan lambang daerah itu di buat sekitar tahun 1946. Saat itu, Indonesia baru saja lepas dari penjajahan Jepang. Pada masa itu, Luwu belum merupakan wilayah kabupaten. Namanya masih menggunakan istilah Swapraja Luwu ---pemerintahan awal daerah yang ada di Luwu---. Swapraja Luwu saat itu dipimpin oleh Andi Djemma.
Sekira tahun 1946, Presiden RI pertama, Soekarno memanggil Andi Djemma ke istana negara. Tujuannya untuk merubah wilayah Swapraja menjadi kabupaten. Saat itulah, Luwu resmi menjadi wilayah kabupaten yang dipimpin oleh Andi Djemma.
"Kemungkinan, lambang daerah tersebut dibuat saat itu," kata Alim.
Sayangnya, Alim tidak tahu pasti siapa nama pembuat lambang daerah tersebut. Menurutnya, pembuat lambang itu diperkirakan salah satu orang dekat Andi Djemma.
"Saya tidak tahu persis, bisa jadi dia adalah salah satu orang dekat beliau (Andi Djemma)," kata Alim
Hal tersebut juga dibenarkan oleh seorang Pakketeni Ade' (Setingkat Mentri di Kerajaan Luwu), Andi Nyiwi Opu Daeng Mallongi. Saat ditemui di istana Luwu (sekarang Museum Kota Palopo), Rabu 15 Juli Kemarin, Andi Nyiwi mengatakan, pemimpin revolusi Kerajaan luwu, Andi Djemma memang pernah di panggil ke istana negara oleh Soekarno. Saat itu, dia bertemu dengan Soekarno bersama dengan raja Gowa dan raja Bone.
Saat ditanya tentang makna lambang itu, Andi Nyiwi mengatakan, lambang itu memiliki makna yang tersirat. Simbol keris yang ada di bagian tengah lambang itu menandakan ke sakralan kerajaan Luwu. Keris itu sebenarnya bernama keris Bungawaru. Keris ini diyakini adalah keris pemberian dari langit.
"Itu keris Bungawaru, rakyat Luwu yakin keris itu pemberian dari langit," kata Andi nyiwi.
Andi Nyiwi mengatakan, saat ini keris itu sudah tidak ada lagi di Indonesia. Pengurus kerajaan meyakini keris itu di curi Belanda saat hendak meninggalkan tana Luwu.
"Mungkin keris itu masih ada di Belanda, yang jelasnya tidak ada di Indonesia," katanya.
Lebih jauh, Andi Nyiwi mengatakan, lambang payung berwarna putih tersebut adalah lambang kerajaan Luwu sejak awal. Maknanya adalah kerajaan Luwu sangat melindungi seluruh warganya.
"Itu lambang payung, dari dulu lambang itu sudah digunakan di kerajaan Luwu," jelasnya.(nugie.fajar@gmail.com)
05 Juli, 2009
Pembuat Lambang Daerah Kota Palopo;Ahmad Yakdir
Terinspirasi dari Kata "Pallopo"
Lambang daerah, tentunya memiliki usia yang sama dengan daerahnya. Hal serupa juga berlaku di Palopo, tepat Kamis 02 Juli lalu, lambang daerah kota Palopo genap berusia tujuh tahun. Siapa pembuat lambang ini?
EKA NUGRAHA
Palopo
Pembuat lambang daerah kota palopo itu bernama, Ahmad Yakdir. Sekarang dia mengabdi di kantor balaikota Palopo dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jabatannya sekarang adalah staf bagian umum Pemkot Palopo. Tidak sulit untuk bertemu dengannya. Cukup sebut namanya di ruang bagian Umum, dan pegawai pun akan mengantarkan Anda ke meja kerjanya.
Saat saya bertandang ke ruangannya, Senin 29 juni, pria ini tampak sibuk dengan menyelesaikan pekerjaannya. Namun, dengan ramah dia mempersilahkan saya duduk di samping kursinya.
Yakdir mengatakan, awalnya dia membuat lambang itu dari minat untuk mengikuti sayembara logo saat kota Palopo baru saja terbentuk. Saat itu, Yakdir belum berstatus sebagai PNS di Pemkot Palopo. Dari ratusan desain lambang yang mendaftar, desain milik Yakdir akhirnya terpilih kedalam tiga besar desain lambang yang terbaik. Ironisnya, dewan juri saat itu tidak bisa menetapkan desain lambang terbaik dari ketiga desain lambang itu.
"Dewan juri saat itu saling ngotot kalau desain-desain itu semua cocok untuk menjadi lambang daerah Palopo. Padahal yang akan menjadi lambang kan hanya ada satu," kata Yakdir.
Kondisi seperti itu akhirnya membuat dewan juri untuk meminta petunjuk dari walikota Palopo, HPA Tenriadjeng. Hasilnya, Tenriadjeng erekomendasikan kepada Yakdir untuk membuat lambang daerah baru. Syaratnya, harus memadukan tiga lambang itu.
"Saya juga tidak tahu kenapa beliau (Tenriadjeng) merekomendasikan kepada saya?" tanya Yakdir.
Yakdir menambahkan, memang pada dasarnya dia yang mendesain ulang lambang daerah itu. Namun, secara khusus, ide gambar itu sebenarnya perpaduan dari tiga desain yang berhasil lolos sebagai desain terbaik saat itu. Sayangnya, Yakdir lupa siapa dua orang pebuat desain logo lainnya.
Lebih jauh, Yakdir mengatakan, sebelum membuat desain lambang tersebut, dia harus mencari referensi pustaka. Yakdir mengaku menyisihkan waktu selama sebulan penuh untuk mencari referensi itu. Hasilnya, sebanyak 11 referensi berhasil terkumpulkan. Salah satu diantaranya adalah buku berjudul "sejarah budaya Luwu".
Dari referensi itu, Yakdir kemudian mengambil logo Masjid Jami' --masjid ini merupakan masjid tertua di Palopo--. Berdasarkan dari salah satu versi dari referensi itu menyebutkan kalau kota Palopo berasal dari kata "Pallopo" yang artinya "menancapkan". Kata ini diperkirakan muncul saat pemancangan pertama tiang masjid. Pemancangan tersebut diperkirakan terjadi apda tahun 1604 M.
"Itu salah satu versi yang menyebutkan asal-usul kota Palopo. Masih banyak versi lainnya, tapi saya lebih memilih versi itu," kata Yakdir.(**)
Lambang daerah, tentunya memiliki usia yang sama dengan daerahnya. Hal serupa juga berlaku di Palopo, tepat Kamis 02 Juli lalu, lambang daerah kota Palopo genap berusia tujuh tahun. Siapa pembuat lambang ini?
EKA NUGRAHA
Palopo
Pembuat lambang daerah kota palopo itu bernama, Ahmad Yakdir. Sekarang dia mengabdi di kantor balaikota Palopo dengan status sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jabatannya sekarang adalah staf bagian umum Pemkot Palopo. Tidak sulit untuk bertemu dengannya. Cukup sebut namanya di ruang bagian Umum, dan pegawai pun akan mengantarkan Anda ke meja kerjanya.
Saat saya bertandang ke ruangannya, Senin 29 juni, pria ini tampak sibuk dengan menyelesaikan pekerjaannya. Namun, dengan ramah dia mempersilahkan saya duduk di samping kursinya.
Yakdir mengatakan, awalnya dia membuat lambang itu dari minat untuk mengikuti sayembara logo saat kota Palopo baru saja terbentuk. Saat itu, Yakdir belum berstatus sebagai PNS di Pemkot Palopo. Dari ratusan desain lambang yang mendaftar, desain milik Yakdir akhirnya terpilih kedalam tiga besar desain lambang yang terbaik. Ironisnya, dewan juri saat itu tidak bisa menetapkan desain lambang terbaik dari ketiga desain lambang itu.
"Dewan juri saat itu saling ngotot kalau desain-desain itu semua cocok untuk menjadi lambang daerah Palopo. Padahal yang akan menjadi lambang kan hanya ada satu," kata Yakdir.
Kondisi seperti itu akhirnya membuat dewan juri untuk meminta petunjuk dari walikota Palopo, HPA Tenriadjeng. Hasilnya, Tenriadjeng erekomendasikan kepada Yakdir untuk membuat lambang daerah baru. Syaratnya, harus memadukan tiga lambang itu.
"Saya juga tidak tahu kenapa beliau (Tenriadjeng) merekomendasikan kepada saya?" tanya Yakdir.
Yakdir menambahkan, memang pada dasarnya dia yang mendesain ulang lambang daerah itu. Namun, secara khusus, ide gambar itu sebenarnya perpaduan dari tiga desain yang berhasil lolos sebagai desain terbaik saat itu. Sayangnya, Yakdir lupa siapa dua orang pebuat desain logo lainnya.
Lebih jauh, Yakdir mengatakan, sebelum membuat desain lambang tersebut, dia harus mencari referensi pustaka. Yakdir mengaku menyisihkan waktu selama sebulan penuh untuk mencari referensi itu. Hasilnya, sebanyak 11 referensi berhasil terkumpulkan. Salah satu diantaranya adalah buku berjudul "sejarah budaya Luwu".
Dari referensi itu, Yakdir kemudian mengambil logo Masjid Jami' --masjid ini merupakan masjid tertua di Palopo--. Berdasarkan dari salah satu versi dari referensi itu menyebutkan kalau kota Palopo berasal dari kata "Pallopo" yang artinya "menancapkan". Kata ini diperkirakan muncul saat pemancangan pertama tiang masjid. Pemancangan tersebut diperkirakan terjadi apda tahun 1604 M.
"Itu salah satu versi yang menyebutkan asal-usul kota Palopo. Masih banyak versi lainnya, tapi saya lebih memilih versi itu," kata Yakdir.(**)
21 Maret, 2009
Mengenang Metropolitanku Tempo Doloe
Gouverneurslaan di Jalan Balaikota
PUSAT pemerintahan modern pertama di Makassar berawal dari Jalan Balaikota. Jalan ini menyimpan banyak bukti sejarah pemerintahan Makassar dari tahun ke tahun.
EKA NUGRAHA, Ujungpandang,
(Fajar Edisi 21 Maret)
JALAN Balaikota sangat banyak menyimpan sejarah pemrintahan di Makassar. Pusat pemerintahan pertama di kota daeng ini berawal dari jalan ini. Beberapa gedung di jalan tersebut menjadi saksi bisu pemerintahan Makassar dari akhir abad 19 hingga awal abad 21.
Dulu, Jalan Balaikota dikenal sebagai "gouverneurslaan te Makassar" atau pusat pemerintahan Makassar. Jalan ini bahkan sudah ada sebelum Makassar dipimpin seorang walikota.
Kepala Museum Kota Makassar, Andi Ima Kesuma Indra Chandra, mengatakan, pada tahun 1918, Makassar resmi memiliki walikota pertamanya. Dalam istilah Belanda saat itu, kata walikota disebut "burgemeester". Dalam pemerintahan saat itu, walikota juga berfungsi sebagai Dewan Kota atau Gemeenterad. Dewan kota ini berfungsi untuk sebagai pengatur pemerintahan.
Dari sini, Makassar lama, hasil bentukan pemerintah Kolonial Belanda hadir dengan kelengkapan birokrasi pemerintahan. Pasalnya, Makassar lama sebagai sebuah kota baru dengan kekuasaan baru itu sempat menjadi ancaman pemerintahan Kerajaan Gowa yang mulai kehilangan pengaruh.
Walikota Makassar pertama saat itu bernama JH Damrink. Kantor Walikota juga terletak di jalan itu. Saat itu kantor walikota bernama Betrokken Radhuis. Saat ini bekas kantor walikota pertama menjadi Museum Kota Makassar.
Di tahun 1918, perkembangan Makassar sangat pesat. Beberapa bangunan untuk fasilitas publik mulai dibangun. Termasuk tempat-tempat peribadatan. "JH Damrink juga membangun gedung kesenian, saat ini gedung itu bernama Societed de harmonie," tambah jelas Ima.
Untuk mengatasi dan mengendalikan laju perkembangan kota, pada tahun yang sama, pemerintahan JH Damrink mengeluarkan aturan bernama Bouw en Woonverordening voor de Gemeente Makassar. Aturan tersebut berisikan zonasi Makassar.
Makassar dulu akhirnya terbagi dalam enam distrik. Ke enam distrik tersebut yakni Makassar, Mariso, Melayu, Ujung Tanah, Wajo, dan Ende yang masing-masing dikepalai oleh seorang "kapitang". Keenam distrik ini juga berpusat di Jalan Balaikota. (*)
PUSAT pemerintahan modern pertama di Makassar berawal dari Jalan Balaikota. Jalan ini menyimpan banyak bukti sejarah pemerintahan Makassar dari tahun ke tahun.
EKA NUGRAHA, Ujungpandang,
(Fajar Edisi 21 Maret)
JALAN Balaikota sangat banyak menyimpan sejarah pemrintahan di Makassar. Pusat pemerintahan pertama di kota daeng ini berawal dari jalan ini. Beberapa gedung di jalan tersebut menjadi saksi bisu pemerintahan Makassar dari akhir abad 19 hingga awal abad 21.
Dulu, Jalan Balaikota dikenal sebagai "gouverneurslaan te Makassar" atau pusat pemerintahan Makassar. Jalan ini bahkan sudah ada sebelum Makassar dipimpin seorang walikota.
Kepala Museum Kota Makassar, Andi Ima Kesuma Indra Chandra, mengatakan, pada tahun 1918, Makassar resmi memiliki walikota pertamanya. Dalam istilah Belanda saat itu, kata walikota disebut "burgemeester". Dalam pemerintahan saat itu, walikota juga berfungsi sebagai Dewan Kota atau Gemeenterad. Dewan kota ini berfungsi untuk sebagai pengatur pemerintahan.
Dari sini, Makassar lama, hasil bentukan pemerintah Kolonial Belanda hadir dengan kelengkapan birokrasi pemerintahan. Pasalnya, Makassar lama sebagai sebuah kota baru dengan kekuasaan baru itu sempat menjadi ancaman pemerintahan Kerajaan Gowa yang mulai kehilangan pengaruh.
Walikota Makassar pertama saat itu bernama JH Damrink. Kantor Walikota juga terletak di jalan itu. Saat itu kantor walikota bernama Betrokken Radhuis. Saat ini bekas kantor walikota pertama menjadi Museum Kota Makassar.
Di tahun 1918, perkembangan Makassar sangat pesat. Beberapa bangunan untuk fasilitas publik mulai dibangun. Termasuk tempat-tempat peribadatan. "JH Damrink juga membangun gedung kesenian, saat ini gedung itu bernama Societed de harmonie," tambah jelas Ima.
Untuk mengatasi dan mengendalikan laju perkembangan kota, pada tahun yang sama, pemerintahan JH Damrink mengeluarkan aturan bernama Bouw en Woonverordening voor de Gemeente Makassar. Aturan tersebut berisikan zonasi Makassar.
Makassar dulu akhirnya terbagi dalam enam distrik. Ke enam distrik tersebut yakni Makassar, Mariso, Melayu, Ujung Tanah, Wajo, dan Ende yang masing-masing dikepalai oleh seorang "kapitang". Keenam distrik ini juga berpusat di Jalan Balaikota. (*)
08 Maret, 2009
Caleg Dalangi Balapan Liar
MAKASSAR -- Ada saja yang dilakukan oleh para calon Legislatif untuk kampanye. Menurut juru bicara kepresidenan, AA Malarenggeng, kampanye terbagi atas tiga ciri khas. Yaitu kampanye program, kampanye dangdut, atau black kampanye. Namun, lain halnya yang dilakukan oleh Muhammad Darwis Arifin, seorang caleg dari salah satu partai pemilu 2009. Caleg ini menggunakan media balapan liar untuk kampanye.
Terbongkarnya hal ini terungkap saat polisi gabungan dari Polresta Makassar Barat dan Polsekta Makassar menjaring puluhan sepeda motor dalam razia yang digelar Selasa malam, 20 Januari. Puluhan sepeda motor tersebut tertangkap saat ikut aksi bali di Jalan Veteran Utara.
Sepeda motor itu ditangkap setelah polisi melakukan pengejaran. Beberapa sepeda motor ditemukan di sebuah bengkel balap bernama PPD Racing Team Makassar.
Bengkel tersebut adalah milik seorang caleg bernama Muhammad Darwis Arifin.
Kepala Polsekta Makassar, Ajun Komisaris Polisi Saiful, mengatakan, polisi melakukan penyisiran terhadap pelaku balapan liar setelah mendengar informasi dari warga tentang balapan liar yang didalangi seorang caleg.
Menurut Saiful, saat polisi melakukan penyisiran, beberapa sepeda motor melaju kencang ke kediaman Darwis di Lorong 41 Jalan Veteran Utara.
Setelah dilakukan pengecekan di rumah Darwis, ditemukan puluhan sepeda motor dengan mesin yang masih panas. Diduga beberapa sepeda motor di antaranya sudah digunakan untuk balapan liar.
"Setelah anggota saya melakukan pengejaran, beberapa motor langsung masuk ke rumah Darwis," kata Saiful.
Pemilik Bengkel, Darwis, berdalih bukan dalang bali. Menurut dia, sepeda motor tersebut sedang dipanaskan untuk persiapan balapan resmi di Parepare. Dia juga merasa keberatan atas tindakan polisi yang berani menggeledah bengkelnya.
"Anak-anak saya sedang memanaskan mesin saat itu untuk persiapan balapan di Parepare nanti," kata Darwis.
Saat ini, puluhan motor tersebut sedang diamankan oleh Polresta Makassar Barat. Sedangkan Darwis akan dipanggil untuk dimintai keterangan mengenai aksi balapan liar itu. (m13)
Terbongkarnya hal ini terungkap saat polisi gabungan dari Polresta Makassar Barat dan Polsekta Makassar menjaring puluhan sepeda motor dalam razia yang digelar Selasa malam, 20 Januari. Puluhan sepeda motor tersebut tertangkap saat ikut aksi bali di Jalan Veteran Utara.
Sepeda motor itu ditangkap setelah polisi melakukan pengejaran. Beberapa sepeda motor ditemukan di sebuah bengkel balap bernama PPD Racing Team Makassar.
Bengkel tersebut adalah milik seorang caleg bernama Muhammad Darwis Arifin.
Kepala Polsekta Makassar, Ajun Komisaris Polisi Saiful, mengatakan, polisi melakukan penyisiran terhadap pelaku balapan liar setelah mendengar informasi dari warga tentang balapan liar yang didalangi seorang caleg.
Menurut Saiful, saat polisi melakukan penyisiran, beberapa sepeda motor melaju kencang ke kediaman Darwis di Lorong 41 Jalan Veteran Utara.
Setelah dilakukan pengecekan di rumah Darwis, ditemukan puluhan sepeda motor dengan mesin yang masih panas. Diduga beberapa sepeda motor di antaranya sudah digunakan untuk balapan liar.
"Setelah anggota saya melakukan pengejaran, beberapa motor langsung masuk ke rumah Darwis," kata Saiful.
Pemilik Bengkel, Darwis, berdalih bukan dalang bali. Menurut dia, sepeda motor tersebut sedang dipanaskan untuk persiapan balapan resmi di Parepare. Dia juga merasa keberatan atas tindakan polisi yang berani menggeledah bengkelnya.
"Anak-anak saya sedang memanaskan mesin saat itu untuk persiapan balapan di Parepare nanti," kata Darwis.
Saat ini, puluhan motor tersebut sedang diamankan oleh Polresta Makassar Barat. Sedangkan Darwis akan dipanggil untuk dimintai keterangan mengenai aksi balapan liar itu. (m13)
04 Maret, 2009
Turun Temurun Membuat Gigi Palsu
DARI kakek turun ke ayah. Setelah ayah, giliran sang anak yang berkarya. Semua demi gigi.
EKA NUGRAHA, Ujungpandang
DI Jalan Lompobattang, terdapat sebuah bangunan berlantai dua. Di bagian depan, terpajang sebuah billboard bergambar susunan gigi. Bagian bawah gambar itu tertulis "Tukang Gigi Gaya". Itulah pengrajin gigi palsu milik Alferd.
Saat saya mampir ke tempat itu, Alferd sementara beristirahat di meja kerjanya. Tumpukan gigi palsu, beberapa botol bahan kimia dan peralatan kerjanya berhamburan di atas meja.
Alferd adalah Tionghoa yang telah 20 tahun menjadi pengrajin gigi palsu. Pasien yang telah ditanganinya juga sudah mencapai angka ratusan orang. Mau atau tidak, seiring dengan bertambahnya usia, gigi perlahan-lahan akan gugur satu per satu. Dengan gugurnya gigi itu, pasti akan berdampak terhadap bentuk wajah.
Menurut Alferd, pentingnya gigi sangat menunjang beberapa fungsi. Di antaranya fungsi bicara, pengunyahan, dan estetika wajah. Di tangan Alferd, gigi yang telah ompong dapat dikembalikan dengan menggunakan gigi palsu. Gigi tiruan yang bentuk dan penampilannya benar-benar menyerupai gigi sesungguhnya. Sehingga ketiga fungsi tadi akan kembali seperti sediakala.
Alferd mengatakan, ilmu membuat gigi palsu adalah turunan dari leluhurnya. Awalnya, dia mempelajari ilmu tersebut dari ayahnya. Sedang sang ayah belajar dari kakek Alferd.
"Kalau bapak saya bekerja seperti ini selama 40 tahun. Sampai beliau meninggal dia masih menekuni profesi ini," kata Alferd, 25 Februari lalu.
Saat diminta mendetail mengenai bahan pembuatan gigi palsu tersebut, Alferd enggan bercerita banyak. Menurut dia, beberapa bahan kimia dari gigi palsu itu berbahasa kedokteran.
"Kalau bahan dasarnya; kapur dan gift. Untuk bahan cair pakai bahasa kedokteran, nanti saya salah menyebutkannya," dalih dia.
Proses awal pembuatan gigi palsu butuh sample gigi asli. Itu dilakukan untuk membuat mal gigi palsu. Waktu pengerjaannya hanya satu hari. "Seperti orang yang membuat baju, ukuran bajunya, terus dicetak," kata Alferd. (*)
10 Februari, 2009
Alih Profesi,, Security Bank Dibekuk
TAK puas bekerja sebagai sekuriti atau petugas keamanan di salah satu bank pemerintah di Makassar, Ahmad Hidayat, 25, pun mencoba peruntungan baru. Sayangnya, "pekerjaan" tambahan yang dipilih Ahmad tidak positif. Dia memilih judi.
Polisi yang sudah beberapa minggu curiga terhadap Ahmad terus membuntuti pria itu. Hasilnya, Sabtu malam, 7 Februari, Ahmad diciduk di sebuah kamar kos sedang asyik bermain judi.
Selain Ahmad, polisi juga membekuk dua mahasiswa masing-masing bernama Wawan, 23, dan Muslimin, 20. Satu pejudi lainnya tidak punya pekerjaan tetap
Di tangan para pejudi, polisi mengamankan barang bukti berupa uang tunai Rp 275 ribu, beberapa botol bir, dan sebilah badik. Saat diinterogasi, keempat tersangka mengaku berjudi hanya atas untuk bersenang-senang saja.
Kepala Satuan Reskrim Polresta Makassar Barat, Ajun Komisaris Polisi Ronald Sumigar, mengatakan penangkapan keempat tersangka judi bermula dari laporan warga yang resah lantaran ulah mereka.
Para pejudi dikenakan pasal 303 KUHP tentang perjudian. Mereka diancam dengan pidana penjara maksimal sepuluh tahun atau pidana denda maksimal Rp 25 juta. (m13)
Polisi yang sudah beberapa minggu curiga terhadap Ahmad terus membuntuti pria itu. Hasilnya, Sabtu malam, 7 Februari, Ahmad diciduk di sebuah kamar kos sedang asyik bermain judi.
Selain Ahmad, polisi juga membekuk dua mahasiswa masing-masing bernama Wawan, 23, dan Muslimin, 20. Satu pejudi lainnya tidak punya pekerjaan tetap
Di tangan para pejudi, polisi mengamankan barang bukti berupa uang tunai Rp 275 ribu, beberapa botol bir, dan sebilah badik. Saat diinterogasi, keempat tersangka mengaku berjudi hanya atas untuk bersenang-senang saja.
Kepala Satuan Reskrim Polresta Makassar Barat, Ajun Komisaris Polisi Ronald Sumigar, mengatakan penangkapan keempat tersangka judi bermula dari laporan warga yang resah lantaran ulah mereka.
Para pejudi dikenakan pasal 303 KUHP tentang perjudian. Mereka diancam dengan pidana penjara maksimal sepuluh tahun atau pidana denda maksimal Rp 25 juta. (m13)
04 Februari, 2009
"Manami Kesehatan Gratisnya...?"
"APAJI? Manami kesehatan gratisnya? Padahal sayaji yang dukungki dulu, tapi nakasi beginiji anakku di rumah sakit..."
EKA NUGRAHA, Tamalanrea
SEBARIS tanya itu meluncur deras dari mulut Nurlina, orangtua Muhammad Raihan. Anak Nurlina, Raihan yang baru sepuluh bulan tergolek lemas di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. Dia menderita hidrocepalus atau peningkatan cairan otak.
Sudah seminggu ini Nurlina menunggu jadwal operasi kepala anak pertamanya itu. Namun, lagi-lagi kendala administrasi di rumah sakit menjadi penghambat operasi kepala raihan itu.
Keluarga Raihan masih berstatus penerima Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun, pihak rumah sakit tidak menerima jaminan dari Jamkesda itu. Terpaksa, Nurlina harus kembali mengurus Jamkesmas di Dinas Kesehatan Kota Makassar.
Sementara, kepala Raihan semakin hari terus membesar. Setiap hari mata Raihan ditutup dengan perban karena sudah tidak bisa tertutup lagi.
"Sengaja ditutup nanti untuk menghindari kemasukan debu," kata Nurlina.
Sudah beberapa hari ini, Raihan tidak lagi bersuara. Padahal dokter sudah berkali-kali menyuntik Raihan. Nurlina terpaksa memberikan Raihan susu setiap dua jam sekali.
"Dia (Raihan, red) sudah tidak pernah menangis lagi, padahal dia pernah disuntik. Kalau anak yang normal, pasti menagis kalau disuntik," kata Nurlina.
Saat di temui di Bangsal Lontara 3 Kamar III, mata Nurlina terus berkaca-kaca. Dia mengaku kesal. Menurutnya, hanya lantaran Jamkesmas, operasi anaknya yang membutuhkan Rp 11 juta itu terus tertunda.
Pada saat operasi pertama Raihan delapan bulan yang lalu, Nurlina mengaku tidak terlalu dipersulit. Karena saat itu, Raihan masih menggunakan Jaring Pengaman Sosial. Saat itu, belum ada istilah Jamkesmas dan Jamkesda.
"Kalau bisa diobati mi dulu anakku, nantipi menyusul Jamkesmas-nya karena sementara diurus mi ini," ujar Nurlina diiringi linangan air mata.
Nurlina juga mengatakan kalau anak pertamanya itu, sempat tertahan di Unit Gawat Darurat (UGD) RSWS selama dua hari tiga malam. Hal itu terjadi karena Raihan telah melakukan scan kepala. Namun, Nurlina tidak mampu membayar biaya scan yang bernilai Rp 450 ribu itu.
Uluran tangan dermawan terus mengalir untuk Raihan. Tiga hari lalu, seorang dermawan yang menolak membuka identitas dirinya menyumbang Rp 15 juta demi kesembuhan Raihan. Semoga, masih banyak dermawan-dermawan misterius seperti itu di sekliling Raihan. (*)
Langganan:
Postingan (Atom)